Peneliti Puspar UGM Dr. Destha Titi Raharja, S.Sos., M.Si menjadi pembicara dalam acara Sarasehan Optimalisasi Potensi Ekraf dalam Mendukung Sektor Pariwisata di Kecamatan Taman, Kota Madiun. Kegiatan ini di selenggarakan oleh Mahasiswa KKN PPM UGM yang melaksanakan pengabdian di Kecamatan Taman, Kota Madiun. Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Gadjah Mada (UGM) Periode 4 tahun 2024 di Kecamatan Taman dengan mengusung program besar berupa Pengembangan Desa Kawasan Wisata dalam Peningkatan Perekonomian Masyarakat di Kecamatan Taman, Kota Madiun.

Sarasehan mendapat dukungan dari Pemerintah Kecamatan Taman dan Bappelitbangda Kota Madiun. Hadir dalam Sarasehan ini perwakilan dari Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Kota Madiun, Dinas Kebudayaan Pariwisata Kepemudaan dan Olah Raga Kota Madiun, Dinas Perdagangan Kota Madiun, Dinas Tenaga Kerja Kota Madiun, dan Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Madiun, dan para lurah serta perwakilan pelaku usaha ekonomi kreatif dari seluruh kelurahan di Kecamatan Taman.

Destha Titi Raharjana, selaku peneliti senior di Pusat Studi Pariwisata UGM menyampaikan soal urgensi pengembangan sektor ekraf melalui identifikasi gambaran dan peluang untuk kemudian merumuskan rekomendasi strategis mengenai penguatan ekosistem ekraf di Kecamatan Taman, Kota Madiun. Menurutnya pengalaman selama ini bisa dijadikan fondasi bagi Kecamatan taman dalam pengembangan kawasan wisata.
Pengalaman wisata yang menjadi identitas suatu daerah dapat dicapai melalui kolaborasi antar elemen penggerak pariwisata di suatu daerah. Para penggerak pariwisata bisa menciptakan pengalaman unik secara bersama sebagai nilai jual wisata di Kecamatan Taman.“Ciptakan ambience, atmosfir, yang membuat sense dari Kota Madiun itu berbeda, tidak sama dengan yang lain, karena tourism is different,” paparnya.
Bagi Destha, destinasi yang kreatif akan mampu membawa pada persaingan. Karena dalam pengembangan pariwisata dituntut kemampuan baik dari aspek pengetahuan dan kreativitas.
Bahkan, ia membayangkan pengembangan pariwisata kedepan mengarah pada model wisata berbasis kreativitas. Hal ini sejalan dengan perkembangan ekonomi yang dinilai telah bergeser menuju era ekonomi kreatif. “Pemerintah Kota Madiun pun telah menerbitkan Perda No 11/2024 tentang pengembangan Ekonomi Kreatif. Kata kunci dari ekraf adalah ide, kreativitas. Karena yang dicari dalam pengembangan ekraf adalah eksplorasi, presentasi, dan pengemasan. Pengemasan dapat dilakukan secara tematik berbasis kluster melalui pendekatan kawasan,” paparnya.
Sarasehan yang digelar mahasiswa KKN mendapat sambutan Masyarakat. Mereka sangat antusias mengikuti kegiatan, terutama para pelaku ekraf dari sembilan kelurahan di Kecamatan Taman. Bahkan mereka secara terbuka berbagi cerita mengenai capaian pengembangan kreasi ekraf yang ditekuni selama ini dan harapannya untuk kedepan terkait pemasaran produk.
Destha menaruh harapan bila sarasehan bisa menjadi titik awal yang baik untuk pertumbuhan ekraf dalam mendukung akselerasi sektor pariwisata. Semangat berkreasi dan perluasan pasar produk ekraf oleh para pelaku usaha diharapkan menjadi perhatian dan tindaklanjut pendampingan oleh OPD terkait.
“Pengembangan ekonomi kreatif sebagai salah satu bagian dari titik awal pertumbuhan pariwisata di suatu daerah memerlukan suatu wadah, yaitu Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Pembentukan Pokdarwis ini tidak lepas dari identifikasi local champion sebagai tokoh penggerak”, katanya.
Dari sesi sharing dalam sarasehan ini, disimpulkan tingginya semangat pelaku ekraf dari tiap kelurahan di Kecamatan Taman dinilai positif. Optimalisasi fungsi Pokdarwis sebagai lembaga kepariwisataan yang digerakkan oleh inisiatif masyarakat dan penggiat pariwisata diharapkan menjadi wadah untuk akselerasi ekraf.

Yusuf Asmadi selaku Camat Taman sungguh senang dengan respon positif dari perwakilan Bappelitbangda dan para pelaku pariwisata. Ia menyambut baik dan mengapresiasi penyelenggaraan sarasehan yang diselenggarakan mahasiswa KKN PPM UGM.
“Terima kasih pada pihak-pihak atas terselenggaranya kegiatan Sarasehan sebagai salah satu program kerja KKN UGM. Empat kelurahan di Kecamatan Taman yang menjadi lokus KKN yaitu Manisrejo, Pandean, Banjarejo, dan Mojorejo kita harapkan menjadi pemicu wisata yang terkoneksi di Kecamatan Taman. Segera kita akan wujudkan dan semua kelurahan di Kecamatan Taman akan terhubung dalam satu paket wisata,” ujarnya.
Febri selaku penanggungjawab program kerja Sarasehan Parekraf mengungkapkan pengembangan ekonomi kreatif menjadi komponen penting pembangunan pariwisata. Urgensinya pengembangan ekonomi kreatif ini adalah pemberdayaan para pelaku usaha, dan ia menjadi pilar praktis dalam pengembangan wisata berupa “something to buy”. “Tentu bukan sekedar membeli suatu produk, melainkan bagaimana para wisatawan atau pengunjung juga membeli pengalaman. Hal ini tentu linear dengan tujuan besar Kecamatan Taman dalam pengembangan sektor pariwisata”, ucapnya.
Iapun menambahkan tidak hanya tema besar pariwisata, para mahasiswa KKN PPM UGM di kota Madiun juga melakukan berbagai kegiatan pendampingan untuk Masyarakat. Diantaranya pendampingan bidang pendidikan, UMKM dan lain-lain.



Salah satu daya tarik lain di kampung ini dari sisi kebudayaan ialah minuman tradisional bernama Anding. Anding sejenis minuman beralkohol tradisional merupakan warisan dari tradisi nenek moyang suku Dayak Siang sejak dahulu kala. Minuman ini diolah secara tradisional dengan bahan dasar beras ketan, ragi, gula, cengkeh, ketumbar dan rempah-rempah lainnya, berikut dibuat secara fermentasi. Biasanya minuman alkohol tradisional ini dihidangkan saat acara ritual adat dan keagamaan. Suku Dayak Siang menganggap Anding sebagai simbol menjaga eksistensi budaya, simbol kebersamaan dan mengandung kearifan lokal.
Setelah dirasa cukup, perjalanan kembali dilanjutkan tepatnya di Desa Tumbang Apat. Untuk mencapai lokasi dibutuhkan waktu sekitar 30 menit dari Kampung Tumbang Bantian. Tumbang Apat merupakan desa paling ujung di Kecamatan Sungai Babuat menawarkan keindahan alam dan pesona budaya yang kaya. Kampung ini memiliki segalanya untuk memikat hati setiap pengunjung. Amatan kami di Tumbang Apat difokuskan pada Rumah Betang Apat. Rumah Betang ini tergolong Benda Cagar Budaya (BCB) jauh lebih dulu berdiri dibanding Rumah Betang Bantian, yaitu tahun 1837. Dibangun sekitar 187 tahun silam, Betang Apat merupakan salah satu rumah betang terbesar di Murung Raya, setelah Betang Konut. Keagungan rumah adat ini tidak hanya terletak pada ukuran dan luasan 1,650 m2, luas bangunan 510 m2, dengan tinggi 3,07 m dan panjang rumah 55 m, tetapi juga pada maknanya sebagai simbol kebudayaan dan kehidupan warga Dayak Siang. Bangunan ini memiliki 9 kamar, 4 pintu dan 3 tangga serta satu tiang utama. Fungsi bangunan ini tidak berbeda dengan rumah betang lainnya, menjadi pusat kegiatan budaya yang diselenggarakan warga.
Berbagai tradisi lokal, gotong royong, dan budaya khas lainnya menjadi identitas desa Tumbang Apat, salah satunya adalah Puruk Buah. Puruk buah merupakan kegiatan budaya yang menampilkan dan menumpuk hasil panen buah-buahan di setiap bulan November-Desember, karena potensi buah-buahan di desa ini cukup banyak, seperti Durian. Desa Tumbang Apat adalah salah satu desa penghasil buah durian terbesar di Kabupaten Murung Raya. Tidak kalah menarik dari kebudayaan Tumbang Apat adalah permainan musik tradisional yang disebut Kongkurung. Kongkurung merupakan alat musik tradisional yang dimiliki oleh Suku Dayak Siang Murung Raya. Alat musik ini terbuat dari bambu pilihan sepanjang ±4 m dan di dalamnya terpasang kayu Ulin berbentuk balok kecil serta balok ulin yang dibentuk menyerupai gasing yang mampu mengeluarkan bunyi yang jika di kolaborasikan hentakannya mengeluarkan bunyi yang merdu. Alat musik ini sering dipergunakan masyarakat Dayak Siang saat melaksanakan rutinitas menanam padi. Selain itu, Kongkurung dapat juga dimainkan pada saat tamu-tamu kehormatan datang berkunjung ke desa mereka. Sebelum meninggalkan Rumah Betang Apat, tim sempat diperlihatkan hasil kerajinan tangan warga penghuni Betang, diantaranya Ocong. Ocong sejenis tas punggung yang terbuat dari rotan yang dibelah-belah berbentuk seperti tabung memiliki tinggi sekitar 65 cm dengan garis lingkaran sekitar 50 cm. Selain dipakai untuk membawa barang-barang ketika berpergian, dijadikan sebagai wadah untuk perbekalan saat berburu ke hutan atau tempat menyimpan hasil panen.



















