Pemerintah melalui Nawacita ke-3 mendorong pembangunan Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa-desa dalam kerangka NKRI. Amanat UU No.6/2014 tentang Desa menyebutkan bahwa pembangunan kawasan perdesaan sebagai salah satu pendekatan dalam menyelesaikan permasalahan desa. Langkah awal dalam pembangunan kawasan perdesaan adalah dimulai dengan menyusun RPKP dengan lokus KPPN Pulau Kapota.
Tujuan penyusunan RPKP ini merumuskan kebijakan pengembangan kawasan perdesaan strategis yang terpadu antar sektor, antar wilayah, dan antar tingkat pemerintahan berdasarkan kebutuhan jangka menengah (5 tahun) dan jangka pendek (1 tahun) guna meningkatkan fungsi kawasan perdesaan yang mandiri, maju, berdaya saing dan berkelanjutan. Penelitian dilakukan secara kualitatif, dengan survey lapangan, wawancara mendalam dan focus group discussion sebagai teknik pengumpulan data. Hasil kajian mengungkap bahwa Kawasan Pulau Kapota memiliki potensi sumberdaya alam seperti pariwisata (alam dan budaya/sejarah), potensi perikanan tangkap, pertanian dan kerajinan. Pariwisata dipilih sebagai komoditas/potensi unggulan di Pulau Kapota didukung oleh perikanan tangkap, kelapa, bambu dan tenun. Permasalahan yang menonjol di kawasan perdesaan Pulau Kapota adalah (a) persoalan air bersih yang belum memenuhi kebutuhan semua warga Pulau Kapota; (b) minim fasilitas pariwisata (rumah makan, persewaan alat-alat wisata dan homestay standar); (c) kemampuan SDM pengelolaan pariwisata di kawasan masih rendah; (d) minim sarana dan prasarana perikanan tangkap (kapal, penampung ikan hasil tangkapan); (e) inovasi hasil kerajinan anyaman bambu dan tenun masih rendah; dan (f) persoalan kemiskinan yang masih melanda sebagian besar masyarakat Pulau Kapota, yaitu 43% kategori miskin.
Visi pembangunan kawasan perdesaan Pulau Kapota adalah terwujudnya kawasan perdesaan yang mandiri, berkelanjutan dan sejahtera 2018-2022, dengan tema pengembangan pariwisata (alam dan budaya) didukung oleh perikanan tangkap, bambu, tenun dan kelapa. Adapun sasaran
pembangunan kawasan perdesaan Pulau Kapota adalah pengembangan produk/komoditas unggulan pariwisata dengan dukungan sektor lainnya. Adapun strategi dan kebijakan pembangunan Kawasan Perdesaan Pulau Kapota diarahkan pada : (a) Pengembangan kawasan-kawasan pariwisata unggulan, potensial dan pendukung dengan konsep ekowisata yang berwawasan lingkungan; (b) peningkatan hasil tangkapan nelayan dengan dukungan sarana dan prasarana perikanan, pengolahan dan jejaring pemasaran yang kuat (hulu-hilir).; (c) peningkatan hasil pertanian dengan dukungan sarana dan prasarana pertanian; (d) peningkatan usaha kerajinan anyaman bambu, tenunan dan kuliner dengan
dukungan bahan baku, pengolahan dan pemasaran; dan (e) peningkatan sarana dan prasarana/infrastuktur kawasan perdesaan. Terkait dengan pariwisata sebagai produk unggulan kawasan pedesaan atau biasa disebut Prukades dikembangkan dengan konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan (suistainable tourism development) yang mampu mengintegrasikan tiga dimensi, yaitu dimensi ekonomi, lingkungan (kelestarian/konservasi) dan dimensi sosial budaya.
Rekomendasi kajian ini : pertama, diperlukan percepatan pembangunan lintas sektor, koordinasi dan sinergi antar lini dalam pembangunan Kawasan Perdesaan Pulau Kapota dengan prioritas meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kedua, faktanya sebagian besar penduduk Kapota masih tergolong miskin (pra sejahtera), maka diperlukan program-program padat karya dan bantuan modal usaha disamping program dan kegiatan peningkatan infrastruktur, pengembangan kapasitas masyarakat dan menumbuhkan kemandirian, kreativitas dan inovatif. Ketiga, diperlukan komitmen dan kerja konkrit dari semua lembaga baik pusat, provinsi dan daerah (kabupaten) untuk membangun Kawasan
Perdesaan Prioritas Nasional (KPPN) Pulau Kapota, termasuk dukungan swasta dan pelaku usaha sangat diperlukan dalam membangun kawasan perdesaan Pulau Kapota. Keempat, pola-pola kemitraan dalam pembangunan kawasan perdesaan Pulau Kapota dapat dikembangkan, seperti kerjasama keterkaitan antar hulu – hilir; keterkaitan antar hilir dan hulu, kerjasama dengan pemilik usaha (resort, hotel, bank swasta/nasional) dan kerjasama dalam bentuk bapak-anak angkat). Kelima, dokumen RPKP ini adalah milik daerah, sehingga dibutuhkan komitmen bagi semua pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah untuk mengawal, melaksanakan (implementasi), mengevaluasi dam memonitoring sejauh mana pelaksanaan program-program yang telah diusulkan dalam matriks program.
Studi/Penelitian
Nawa Cita yang dicetuskan era kepemimpinan Joko Widodo, salah satunya adalah membangun Indonesia dari pinggiran melalui penguatan daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Desa No 6 Tahun 2014 bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa sekaligus menekan kemiskinan. Berbasis argument inilah, Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi memandang perlu menyusun Rencana Pembangunan Kawasan Perdesaan (RPKP). Kebijakan dan program yang dijabarkan dalam dokumen diharapkan dipergunakan sebagai acuan dalam pembangunan terpadu kawasan perdesaan.
Cara pandang membangun desa penting didorong dalam kerangka kawasan guna lebih mempercepat akselerasi pembangunan kawasan perdesaan. Kajian RPKP Kabupaten Ende yang disusun ini berpijak pada pendekatan “desa membangun” dan “membangun desa” yang dapat diintegrasikan dengan perencanaan pembangunan desa khususnya di wilayah kecamatan Kelimutu. Metode kerja secara partisipatif melibatkan
segenap stakeholders strategis untuk turut membangun kawasan. Pendekatan kajian menekankan Appreciative Inquiry (AI) atau pendekatan berbasis kekuatan dengan mendorong kearah pengembangan kluster produk unggulan di kawasan Kelimutu,Ende Nusa Tenggara Timur sebagai lokusnya.
Dari aspek supply, kawasan Kelimutu dikenal sebagai salah satu taman nasional di Pulau Flores yang mampu mendatangkan wisatawan sekaligus mampu memicu pertumbuhan ekonomi wilayah. Kesempatan ini tentunya menjadi peluang akselerasi guna mendorong pembangunan sembilan desa yang masuk dalam lingkup kawasan Kelimutu. Dari analisis kluster dihasilkan tiga produk yaitu pariwisata alam dan budaya, ditunjang adanya industri kreatif berupa tenun ikat serta dilengkapi pula dengan potensi agro/farmakologi. Produk-produk unggulan inilah yang patut dikembangkan secara simultan sesuai dengan visi pengembangan kawasan yaitu mendorong kemandirian masyarakat Kelimutu melalui pembangunan kepariwisataan di kawasan perdesaan. RPKP ini menetapkan tiga zona; Nduaria dan sekitarnya dengan tema pengembangan pasar buah dan hortikultura sebagai rest area, kawasan Moni dan sekitarnya sebagai pusat ekonomi pariwisata, dan kawasan Pemo dan sekitarnya sebagai pusat aktivitas wisatawan. Sebagai rekomendasi, diperlukan dukungan serta fasilitasi pemerintah pusat dan provinsi serta kabupaten guna mendorong percepatan implementasi program RPKP wilayah Kelimutu. Sudah barang tentu, diperlukan dukungan dari sembilan desa dan pihak Bumdesa juga BKAD agar dapat mengawal program yang sudah ditetapkan.
Review masterplan Sri Aji Joyoboyo tahun 2014 merumuskan konsep pengembangan kawasan Sri Aji Joyoboyo sebagai kawasan wisata spiritual. Kawasan wisata spiritual ini merupakan atraksi utama sebagai pusat dan generator semua kegiatan wisata di destinasi pariwisata spiritual dan budaya Desa Menang. Sementara itu kegiatan wisata yang terbangun oleh adanya kegiatan wisata spiritual, yaitu wisata budaya dan sejarah, merupakan kegiatan wisata penunjang yang berada di luar kawasan wisata spiritual. Konsep ini diwujudkan secara spasial dalam mintakad kawasan yang terdiri dari tiga zona yaitu: (1) Zona Spiritual; (2) Zona Sejarah; dan (3) Zona Ekonomi Kreatif.
Pembangunan kawasan ini dilakukan dengan bertahap. Upaya ini diawali dengan upaya pembebasan lahan. Selanjutnya akan dilakukan pembangunan fisik secara bertahap. Dari beberapa fasilitas yang ada di ketiga zona tersebut, yang paling memungkinkan untuk dibangun sampai pada tahun 2020 adalah amphitheater dan museum. Amphiteater dan museum ini terletak di zona sejarah. Hal ini dikarenakan materi/peninggalan yang akan menjadi koleksi museum sudah ada. Selain itu, atraksi kesenian yang dapat ditampilkan di amphitheater pun sudah eksis dan membutuhkan fasilitasi untuk dapat tampil dan lebih berkembang. Oleh karena kebutuhan tersebut, pada tahun 2018 ini, dilakukan penyusunan detailed engineering design (DED) kawasan agar dapat segera dilakukan pembangunan amphitheater dan museum.
Salah satu daerah otonom di Aceh yang memiliki potensi pariwisata adalah Kabupaten Aceh Tamiang. Aceh Tamiang memiliki sumber daya pariwisata berupa pesona alam baik pesisir, daratan maupun pegunungan. Selain potensi alam, Aceh Tamiang memiliki potensi seni budaya dan situs-situs sejarah yang hingga kini masih terawat dengan baik. Namun dalam perkembangannya hingga kini, sektor kepariwisataan di Aceh Tamiang belum optimal dikembangkan, salah satu sebabnya karena belum adanya dokumen (instrumen) perencanaan yang komprehensif sebagai landasan untuk mengatur pembangunan kepariwisataan dalam bentuk RIPPARDA. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan mengamanatkan setiap provinsi, kabupaten/kota harus memiliki Rencana Induk Pembangunan Pariwisata.
Secara geografis, Kabupaten Aceh Tamiang terletak 03°53’18,81″;-04°32’56,76″; LU, 97°43’41,51″; – 98°14’45,41″; BT / EL dengan luas wilayah 1 957,02 km 2 , ketinggian tempat : 20 – 700 mdpl dengan 12 kecamatan dan 213 kampung. Luas wilayah Kabupaten Aceh Tamiang: 1.957,02 km 2, secara geografis batas-batas administrasi wilayah, sebelah Utara dengan Kabupaten Aceh Timur, Kota Langsa dan Selat Malaka; sebelah Timur dengan Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara; sebelah Selatan dengan Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Gayo Lues (Aceh); dan sebelah Barat dengan Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Gayo Lues. Jumlah penduduk Aceh Tamiang: 282.921 jiwa, penduduk terbanyak ada di Kecamatan Karang Baru (14,42%), diikuti Kecamatan Rantau (13,12%).
Potensi wisata di Kabupaten Aceh Tamiang tersebar di dua belas kecamatan, baik alam, budaya-sejarah maupun buatan sejumlah 76 objek dengan rincian 34 daya tarik alam, 28 daya tarik budaya/sejarah dan 14 daya tarik wisata buatan. Fasilitas pariwisata di Aceh Tamiang, yaitu 6
penginapan (123 kamar/194 tempat tidur), 13 BPW/APW, 57 unit rumah makan, 10 café, dan 6 toko souvenir. Aceh Tamiang memiliki letak strategis, yaitu perbatasan Aceh-Sumatera Utara persis berada di jalur timur Sumatera hanya berjarak ±135 km dari Kota Medan atau empat jam perjalanan darat. Jika dicapai dari Banda Aceh sejauh 475 km atau 10 jam perjalanan darat. Pembangunan pariwisata Kabupaten Aceh Tamiang dikembangkan dengan visi: terwujudnya Aceh Tamiang sebagai destinasi wisata syariah berbasis alam dan budaya Tamiang yang berdaya saing, berkelanjutan dan mensejahterakan masyarakat. Pembangunan kepariwisataan Aceh Tamiang dikembangkan berdasarkan tiga kekuatan utama, yaitu alam, budaya/situs sejarah dan buatan. Struktur perwilayahan pariwisata Aceh Tamiang, yaitu Destinasi Pariwisata Kabupaten (DPK); Kawasan Pengembangan Pariwisata Kabupaten (KPPK) dan Kawasan Strategis Pariwisata Kabupaten (KSPK).
Terdapat 4 DPK Aceh Tamiang, yaitu (1) DPK Seruway-Banda Mulia dan sekitarnya; (2) DPK Kota Kuala Simpang-Karang Baru dan sekitarnya; (3) DPK Tamiang Hulu dan sekitarnya; dan (4) DPK Tenggulun dan sekitarnya. Adapun KPPK Aceh Tamiang adalah (a) KPPK Seruway-Banda Mulia dan sekitarnya dengan tema: Ekowisata Pesisir (Pantai); (b) KPPK Kota Kuala Simpang-Karang Baru dan sekitarnya, dengan tema: City Tours, Rekreasi dan Belanja; (c) KPPK Tenggulun dan sekitarnya, dengan tema: Wisata Tirta Air Terjun dan Petualangan; dan (d) KPPK Tamiang Hulu dan sekitarnya, dengan tema: Petualangan Alam (Ekowisata). Sedangkan KSPK Aceh Tamiang dibagi menjadi 4, yaitu (1) KSP Pesisir; (2) KSP Kota Kuala Simpang-Karang Baru; (3) KSP Tamiang Hulu; dan KSP Tenggulun.
Dalam rangka akselerasi pembangunan kepariwisataan di Aceh Tamiang berikut rekomendasi : (a) pembangunan skala prioritas pada daya tarik wisata yang saat ini telah dikenal dan dikunjungi wisatawan, yaitu Kota Tua Kuala Simpang, Ekowisata Pantai Pusung Kapal (Tuntong Laut), Air Terjun Sangkapane, Permandian Kuala Paret, Pemandian Gunung Pandan, Air Terjun 7 Tingkat; (b) mendorong penetapan RIPPARDA menjadi peraturan daerah (qanun) agar memiliki kekuatan hukum yang mengingkat bagi semua stakeholder kepariwisataan di daerah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat Wilayah Kerja Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau Tahun 2018, melaksanakan Kajian yang terkait dengan pengembangan terutama dalam pemetaan sosial Kawasan Cagar Budaya Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. Kajian yang dilaksanakan di Kawasan Cagar Budaya Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang merupakan kerjasama antara BPCB Sumatera Barat dengan Pusat Studi Pariwisata (Puspar) Universitas Gadjah Mada. BPCB Sumatera Barat mendorong pengembangan dan pemanfaatan sumber daya budaya, termasuk yang berada di Pulau Penyengat. Nama besar pulau ini dengan keragaman tema yang melekat mampu menyihir calon wisatawan untuk bertandang ke Penyengat, Kepulauan Riau. Laporan yang disusun ini mengkaji upaya pengembangan program pemberdayaan yang diharapkan lebih operasional dan dibutuhkan selama di lapangan, khususnya di Pulau Penyengat.