BISNIS PERHOTELAN DI SIMPANG JALAN
oleh :
Herman Toni (Praktisi Industri Perhotelan)
Moratorium hotel seolah tak selesai dibicarakan, dibahas bahkan diperdebatkan sebelum dan sesudah Pemkot Yogyakarta menerbitkan Perwal No.77 Tahun 2013 tentang Moratorium Penerbitan IMB Hotel. Perwal tsb berlaku efektif 01 Januari 2014 sampai dengan 31 Desember 2016. Karena kondisi bisnis perhotelan di Kota Yogyakarta yang belum pulih hingga saat ini moratorium penerbitan IMB Hotel telah diperpanjang sebanyak dua kali. Masing-masing diperpanjang selama setahun pada tahun 2017 dan 2018. Ironisnya, selama moratorium hotel diberlakukan tetap berdiri sejumlah hotel baru berkelas bintang. Hal tersebut otomatis menambah jumlah kamar hotel secara signifikan. Sebaliknya, jumlah kunjungan wisatawan khususnya yang menginap di hotel tidak mengalami kenaikan signifikan pula. Akibatnya, kamar hotel mengalami oversupply yang berujung pada perang tarif antar hotel yang tak sehat. Bahkan, kini perang tarif antar hotel makin tidak sehat karena hotel berkelas bintang lebih tinggi telah mengambil pasar (baca : tamu) hotel berkelas bintang di bawahnya bahkan hotel kelas non-bintang.
Sementara itu kini telah hadir akomodasi non-hotel yang makin familiar dengan nama “AirBnB”. Suka tidak suka kehadiran “AirBnB” menjadi pesaing baru bagi bisnis perhotelan. Hal tersebut berpotensi memperlambat pemulihan kondisi bisnis perhotelan yang sudah terseok-seok akibat room oversupply.
Kondisi bisnis perhotelan seperti digambarkan di atas tidak hanya terjadi di Yogyakarta tetapi dialami oleh berbagai daerah di tanah air misalnya Bali, Bandung, Solo, Tarakan, dan lain-lain. Di daerah-daerah tersebut para pelaku bisnis perhotelan mendesak pemda setempat untuk memberlakukan moratorium penerbitan IMB Hotel. Bahkan, ada yang meminta pemdanya untuk membuat regulasi tentang tarif kamar hotel!
Yogyakarta sudah lama dikenal sebagai kota dengan berbagai predikat yaitu Kota Pendidikan, Kota Budaya, Kota Batik selain Kota Pariwisata. Maraknya pembangunan hotel di Yogyakarta beberapa tahun terakhir jelas menunjukkan bahwa para pihak terkait lebih terfokus pada ketersediaan fasilitas wisata seperti hotel. Nah, kini semua pihak semestinya lebih mencurahkan pikiran, tenaga, dan dana untuk melaksanakan program kegiatan yang makin mewujudkan dan menguatkan predikat
Yogyakarta sebagai Kota Budaya. Bukankah keistimewaan budaya Yogyakarta itu menempatkannya menjadi daerah istimewa selain Aceh dan DKI Jakarta di tanah air yang dikukuhkan dengan Undang-Undang ?! Banyak negara di Eropah sukses menarik wisman karena menonjol dalam merawat dan mengemas secara profesional kekayaan budaya yang dimiliki dalam pelbagai bentuk.