Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada atau dikenal dengan PUSPAR UGM pada awalnya bernama Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata Universitas Gadjah Mada. Didirikan pada tanggal 23 Juli 1994, merupakan salah satu bagian dari Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada yang memiliki kompetensi penelitian di bidang pariwisata. Puspar UGM didirikan berdasarkan Surat Keputusan Rektor Nomor: UGM/92/4576/UM/01/37. Puspar UGM juga mengembangkan metodologi penelitian yang dapat menghadirkan konsep baru maupun landasan kebijakan dalam pembangunan kepariwisataan baik di tingkat daerah, nasional, dan internasional.
Selain mendukung kebijakan universitas menuju research university, Puspar UGM juga mengembangkan metodologi penelitian yang dapat menghadirkan konsep baru maupun landasan kebijakan dalam pembangunan kepariwisataan baik di tingkat daerah, nasional dan internasional. Hingga saat ini, Puspar UGM bertekad untuk membangun reputasi sebagai lembaga penelitian yang memiliki kompetensi dibidang pariwisata yang unggul dan terdepan.
VISI
Puspar UGM memiliki visi “Menjadi Pusat Studi Rujukan dalam Penelitian, Perencanaan dan Pengembangan Kepariwisataan.”
PARIWISATA OLAHRAGA DI INDONESIA : STUDI KASUS TOUR DE SINGKARAK
oleh :
Dr. Retnaningtyas Susanti, S.Ant., M.Sc. (Dosen Universitas Andalas, Padang)
Indonesia sedang bersiap menghadapi pesta besar olahraga Asia, Asian Games, event yang dapat dimanfaatkan sebagai peluang kepariwisataan di Jakarta, Palembang dan sekitarnya. Kajian mengenai sport event menunjukkan ada empat kegiatan utama, yaitu menyelenggarakan, melakukan, menonton, dan menjadi pelaku ekonomi. Ada penyelenggara (panitia), atlet, penonton, dan para pengusaha yang terlibat langsung maupun tidak langsung dengan event olahraga. Terlepas dari kegiatan tersebut, event olahraga dapat menjadi trigger dalam pengembangan infrastruktur kepariwisataan berupa jalan, moda transportasi, dan akomodasi. Hasil penelitian terhadap Tour de Singkarak di Sumatera Barat menunjukkan bahwa penyelenggaraan event olahraga ini memberikan hasil positif terhadap infrastruktur kepariwisataan disana. Event olahraga mempercepat proses pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur. Jadi, pada masa yang akan datang, pemanfaatan event olahraga dapat dipertimbangkan sebagai salah satu upaya untuk mengembangkan kepariwisataan.
DESA WISATA MAU DIBAWA KEMANA ?
oleh :
Prof. Dr. Heddy Shri-Ahimsa Putra (Tenaga Ahli Pusat Studi Pariwisata UGM)
Desa Wisata telah menjadi salah satu tren pengembangan pariwisata di Indonesia. Tren ini merupakan respons terhadap motivasi baru dalam berwisata, terutama masyarakat barat. Saat ini wisata tidak lagi dilakukan dengan berombongan, cukup kelompok kecil atau individual. Mereka rata-rata berminat pada kehidupan sehari-hari, hal-hal yang unik dan bisa mendapatkan pengalaman baru yang berbeda. Kenyamanan akomodasi tidak lagi hal yang penting, asal bisa menginap di desa atau kampung. Desa Wisata ini mulai terlihat pada tahun 1980-an dan terus meningkat hingga kini.
STRATEGI UPW MENGHADAPI DISRUPSI TEKNOLOGI PEMASARAN JASA PARIWISATA
oleh :
Cunduk Bagus Sudarwono, S.Par. (Co Founder & Direktur PT. Java Bagus Indonesia)
Saat ini, hampir seluruh bidang kehidupan sedang mengalami apa yang sering disebut dengan era disrupsi. Sektor perbankan,manufaktur, pendidikan, jasa ritel, pelayanan publik, serta usaha jasa bidang pariwisata mengalami perubahan dalam sistem pelayanan, proses bisnis, struktur biaya, dan pola distribusinya.
Gelombang disrupsi tersebut dipercepat dengan pesatnya inovasi dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi yang menghempaskan siapa saja yang tidak siap dengan perubahan dan inovasi. Dominasi OTA (on line travel agent) dianggap sebagai senjakala bagi usaha jasa pariwisata.
Bagaimana sebaiknya pelaku usaha jasa pariwisata mensikapi dan menghadapi disrupsi di era digital? Apakah disrupsi adalah sebuah ancaman yang menakutkan sekaligus mematikan ? Atau justru menjadi daya dorong untuk senantiasa berinovasi dan selanjutnya menjadi pemenang.
BISNIS PERHOTELAN DI SIMPANG JALAN
oleh :
Herman Toni (Praktisi Industri Perhotelan)
Moratorium hotel seolah tak selesai dibicarakan, dibahas bahkan diperdebatkan sebelum dan sesudah Pemkot Yogyakarta menerbitkan Perwal No.77 Tahun 2013 tentang Moratorium Penerbitan IMB Hotel. Perwal tsb berlaku efektif 01 Januari 2014 sampai dengan 31 Desember 2016. Karena kondisi bisnis perhotelan di Kota Yogyakarta yang belum pulih hingga saat ini moratorium penerbitan IMB Hotel telah diperpanjang sebanyak dua kali. Masing-masing diperpanjang selama setahun pada tahun 2017 dan 2018. Ironisnya, selama moratorium hotel diberlakukan tetap berdiri sejumlah hotel baru berkelas bintang. Hal tersebut otomatis menambah jumlah kamar hotel secara signifikan. Sebaliknya, jumlah kunjungan wisatawan khususnya yang menginap di hotel tidak mengalami kenaikan signifikan pula. Akibatnya, kamar hotel mengalami oversupply yang berujung pada perang tarif antar hotel yang tak sehat. Bahkan, kini perang tarif antar hotel makin tidak sehat karena hotel berkelas bintang lebih tinggi telah mengambil pasar (baca : tamu) hotel berkelas bintang di bawahnya bahkan hotel kelas non-bintang.
Sementara itu kini telah hadir akomodasi non-hotel yang makin familiar dengan nama “AirBnB”. Suka tidak suka kehadiran “AirBnB” menjadi pesaing baru bagi bisnis perhotelan. Hal tersebut berpotensi memperlambat pemulihan kondisi bisnis perhotelan yang sudah terseok-seok akibat room oversupply.
Kondisi bisnis perhotelan seperti digambarkan di atas tidak hanya terjadi di Yogyakarta tetapi dialami oleh berbagai daerah di tanah air misalnya Bali, Bandung, Solo, Tarakan, dan lain-lain. Di daerah-daerah tersebut para pelaku bisnis perhotelan mendesak pemda setempat untuk memberlakukan moratorium penerbitan IMB Hotel. Bahkan, ada yang meminta pemdanya untuk membuat regulasi tentang tarif kamar hotel!
Yogyakarta sudah lama dikenal sebagai kota dengan berbagai predikat yaitu Kota Pendidikan, Kota Budaya, Kota Batik selain Kota Pariwisata. Maraknya pembangunan hotel di Yogyakarta beberapa tahun terakhir jelas menunjukkan bahwa para pihak terkait lebih terfokus pada ketersediaan fasilitas wisata seperti hotel. Nah, kini semua pihak semestinya lebih mencurahkan pikiran, tenaga, dan dana untuk melaksanakan program kegiatan yang makin mewujudkan dan menguatkan predikat
Yogyakarta sebagai Kota Budaya. Bukankah keistimewaan budaya Yogyakarta itu menempatkannya menjadi daerah istimewa selain Aceh dan DKI Jakarta di tanah air yang dikukuhkan dengan Undang-Undang ?! Banyak negara di Eropah sukses menarik wisman karena menonjol dalam merawat dan mengemas secara profesional kekayaan budaya yang dimiliki dalam pelbagai bentuk.
Lokasi Kegiatan : Pantai Sine, Kbuapten Tulungagung, Provinsi Jawa Timur
Mitra : Dinas Kebudayaan Pariwisata dan Olahraga Kabupaten Tulungagung
Download :
Lokasi Kegiatan : Kabupaten Kepulauan Talaud
Mitra : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kepulauan Talaud
Download :
Lokasi Kegiatan : Kota Palangka Raya
Mitra : Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kota Palangka Raya
Download :