Puspar UGM bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Blora terkait penyusunan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten (RIPPARKAB) Blora, Provinsi Jawa Tengah.
Kepala Dinporabudpar, Drs. Kunto Aji, saat membuka acara mengapreasiasi FGD ini untuk pengembangan sektor kepariwisataan di wilayah Blora. Ia menjelaskan Kabupaten Blora memiliki beragam potensi kepariwisataan dan jika digarap dengan serius akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
“Sektor pariwisata tidak ada matinya, meski begitu diperlukan kreatifitas, inovatif dan kolaboratif agar menghasilkan produk yang bisa dijual kepada wisatawan,” ujarnya.
Dr. Destha Titi Raharjana, S. Sos., M.Si selaku Tim Ahli Pusat Studi Pariwisata UGM Yogyakarta mengatakan latar belakang penyusunan Ripparkab ialah perintah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Pasal 8 dan 9 memberikan mandat kepada setiap provinsi /kabupaten/kota harus memiliki Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Daerah. Ia menyampaikan bahwa Kabupaten Blora menyimpan beragam pesona daya tarik wisata baik alam, budaya, dan buatan.
Meski begitu, potensi tersebut belum diimbangi dengan perencanaan, pengembangan dan pemanfaatan yang optimal. Oleh karenanya diperlukan kajian perencanaan pengembangan dalam bentuk RIPPARKAB yang memuat 4 aspek pembangunan kepariwisataan, yaitu destinasi pariwisata, industri pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan.
Peneliti Puspar UGM lainnya, Wijaya S.Hut.M.Sc menambahkan dari analisis awal yang dilakukan terkait daya tarik wisata menunjukkan terdapat 81 objek tersebar di 16 kecamatan di Blora. Daya tarik wisata budaya menempati urutan terbanyak, yaitu 42 spot (52 persen), daya tarik wisata alam 24 spot (30 persen) dan daya tarik wisata budaya sebanyak 15 spot (18 persen).
Ia menyatakan daya tarik wisata yang dimiliki sangat beragam dan unik seperti goa, air panas, gunung, bendungan/waduk/embung, wisata religi/ziarah, kampung konservasi kelor, rumah artefak, dan replika fosil gajah purba. Selain itu, ada kampung budaya Samin, wisata geologis kawah lumpur (mud volcano) di Kesongo & banyu geni di Desa Pengkoljagong, heritage loco tour Cepu, situs-situs benda-benda purba, migas Cepu edupark, forest park, agrowisata Durian & Sawo, desa wisata dengan beragam tema/produk, kerajinan batik motif daun Jati, dan beragam kuliner.
“Hanya saja ada beberapa permasalahan menghadang dalam pengembangannya antara lain infrastruktur jalan menuju objek atau desa-desa wisata rusak dan sempit, minimnya fasilitas wisata, mayoritas daya tarik wisata bersifat embrio, dan status kepemilikan lahan wisata sebagian besar dimiliki Perhutani dan BBWS,” ucapnya.