Diperlukan sinergi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan baik pemerintah, swasta, masyarakat, akademisi hingga media dalam membangun kepariwisataan di Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara. Pada tingkatan pemerintah, sinergitas diharapkan datang dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, kabupaten, kecamatan hingga desa. Bentuk kolaborasi di pemerintahan bisa berupa koordinasi lintas sektoral.
Demikian pernyataan sekaligus harapan Sekda Kabupaten Malinau, Dr. Ernes Silvanus, S.Pi, M.M., mewakili Bupati saat membuka FGD Akhir Reviu Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah (Ripparda), di Ruang Rapat Sekda, Rabu (20/9). Forum Grup Discussion terselanggara atas kerja sama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malinau dengan Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM.
Selain Sekda, acara ini dihadiri sekitar 45 orang berasal dari pimpinan SKPD, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan jajarannya, Dinas Pariwisata Provinsi Kaltara, dan Balai TNKM. Tim Ahli Puspar UGM hadir antara lain Sotya Sasongko, S.Sos., M.Sc., Dr. Destha Titi Raharjana, S.Sos, M.Si., dan Wijaya, S. Hut., M.Sc.
Sotya Sasongko dalam paparannya menilai Kabupaten Malinau memiliki minimal empat keunggulan dari sisi kepariwisataan. Pertama, keberadaan Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) dimana Malinau memiliki kawasan terluas dari total luasan kawasan TNKM ini. Kedua, wilayah otonom ini termasuk salah satu kabupaten yang masuk dalam kawasan jantung Kalimantan (Heart of Borneo/ HoB) telah dideklarasikan oleh tiga negara yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunei. Ketiga, Malinau juga termasuk salah satu wilayah perbatasan negara dengan Malaysia, dimana lima dari lima belas kecamatan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak-Malaysia. Letak strategis ini menjadi peluang pengembangan kepariwisataan di wilayah ini.
“Keempat keragaman budaya yang dihuni oleh 11 suku bangsa. Sebagai destinasi, Malinau tengah berupaya mengoptimalkan sumber daya pariwisata untuk mendorong peluang peningkatan pendapatan daerah dan masyarakat, serta kesempatan kerja,” ungkapnya.
Wijaya menambahkan Kabupaten Malinau memiliki ±90 daya tarik wisata (DTW) yang tersebar di 15 kecamatan. Bahau Hulu sebagai kecamatan yang memilik DTW paling banyak yaitu 13 DTW (15 persen). Sedangkan kecamatan Malinau Utara 10 DTW (12 persen), Kecamatan Kayan Hulu 9 DTW (10 persen), dan Malinau Selatan Hulu sebagai Kecamatan paling sedikit yaitu 2 DTW (2 persen).
Dari total 90 daya tarik wisata, sebanyak 74 objek (82 persen) berupa alam, sedangkan sebanyak 13 objek (14 persen) merupakan daya tarik wisata budaya dan 3 objek (3 persen) sebagai daya tarik wisata buatan.
“Dari keseluruhan 90 daya tarik wisata terdapat beberapa daya tarik wisata unggulan, diantaranya Desa Wisata Setulang, Desa Wisata Pulau Sapi, Hutan Adat Tane’ Olen, dan Air Terjun Panas Semolon,” terangnya.
Dari analisis kewilayahan pariwisata yang dilakukan, Puspar UGM mengusulkan dua kawasan Strategis Pariwisata Kabupaten (KSPK). KSPK 1 Malinau Kota dan sekitarnya bertema “city tour, seni budaya, didukung kerajinan, dan kuliner dengan pusat pelayanan pariwisata di Malinau Kota. KSPK 2 Pulau Sapi – Setulang dan sekitarnya bertema wisata budaya (desa wisata), didukung petualangan wisata alam, kerajinan, dan kuliner dengan pusat pelayanan di Kota Pulau Sapi.
Peneliti Puspar UGM lainnya, Dr. Destha T. Raharjana, S. Sos., M.Si., dalam kesempatan ini menawarkan Visi Kepariwisataan Kabupaten Malinau 2024-2033, yaitu Terwujudnya Kabupaten Malinau Sebagai Destinasi Ekowisata yang Berdaya Saing, Sinergi, Menyejahterakan Masyarakat, dan berkelanjutan. Berpijak atas visi di atas, pemerintah percaya pembangunan sektor kepariwisataan sejalan dengan tujuan SDG’s, di antaranya mendorong pertumbuhan ekonomi (8), mengurangi angka kemiskinan (1), adanya praktek ekowisata mampu menekan ancaman perubahan iklim (13), sekaligus perlu didorong kemitraan antar pemangku kepentingan (no 17) untuk mewujudkan daya saing destinasi pariwisata Kabupaten Malinau. Tema ekowisata ini, menurutnya, menjadi fokus utama dalam pembangunan pariwisata Kabupaten Malinau dengan mempertimbangkan luas wilayah sebagian besar kawasan konservasi yang dikelola oleh TNKM seluas 986.385 ha dari total luas 1.271.969,56 ha.
“Di wilayah TNKM ini kaya akan potensi flora khas Kalimantan dan fauna endemik, seperti Kuau Raja, Tupai Ekor/Vampir, Macan Dahan Kalimantan dan lain-lain,” ujarnya.
Destha mencatat Malinau memiliki keragaman budaya yang dihuni 11 suku bangsa asli, yaitu Dayak Lundayeh, Kenyah, Kayan, Tahol, Tingalan, Punan, Abai, Berusu, Sa’ben, Tidung, dan Bulungan. Malinau juga dilewati oleh 6 sungai besar, yaitu Sungai Malinau, Malinau, Sesayap, Bahau, Kayan Mentarang. Sungai-sungai ini, dalam pandangannya, menjadi daya tarik wisata petualangan arung jeram yang sangat menantang untuk dijelajahi.