Desa wisata bisa menjadi salah satu destinasi alternatif saat berkunjung ke DIY. Hanya saja, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dirampungkan agar desa wisata di DIY lebih berdaya saing dengan destinasi wisata lainnya.
Peneliti Pusat Studi Pariwisata (Puspar) Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Destha Titi Raharjana mengatakan pekerjaan rumah yang pertama yakni harus punya aspek kelembagaan dan legalitas yang jelas. Untuk memastikan hal tersebut diperlukan dukungan dari pemerintah kalurahan serta instansi terkait. Masalah kelembagaan akan diikuti dengan kesiapan dan kompetensi sumber daya manusia (SDM) pengelola desa wisata, diperlukan tim inti dalam mengelola desa wisata. Tim ini bertugas mengelola desa wisata setiap hari serta monitoring dan evaluasi.
Selain itu, desa wisata perlu memiliki master plan yang di dalamnya memuat business plan. Setidaknya ada visi yang akan dicapai sepuluh tahun ke depan. Penataan dan pengembangan, baik fisik serta nonfisik bisa berjalan sesuai rencana. Termasuk dalam mencari dukungan anggaran. Pengelola desa wisata juga paham tentang produk pengetahuan yang dimiliki. Pengelola harus mampu mengemas identitas yang dimiliki desa tersebut. Tujuannya agar tidak homogen dengan desa tetangga. Diimbangi dengan kemampuan berinovasi terhadap produk wisata berbasis sumber daya lokal desa tersebut.
Berikutnya adalah pemasaran. Menurutnya hal ini adalah kunci penting dalam memajukan desa wisata, salah satunya lewat pengembangan jejaring untuk memasarkan produk wisata. Diakuinya, saat ini belum semua desa wisata punya tim khusus pemasaran. Pemasaran masih dianggap beban karena harus mengeluarkan modal. Dr. Destha Titi Raharjana menjelaskan pemasaran bisa murah dilakukan lewat aplikasi atau media sosial. Rendahnya keterampilan digital marketing juga masih jadi kendala. Apalagi desa wisata yang pengelolaannya tidak dipegang anak muda. Aktivasi di dunia digital lewat konten yang beragam masih minim. Demikian juga story telling dan orisinalitas cerita tentang desa. “Branding dapat dibangun dari toponim desa, atau mitos dan legenda yang tumbuh sebagai bentuk local wisdom”.
DIY berpeluang besar pengembangan wisata minat khusus. Sehingga pengembangan pariwisata tidak terjebak pada mass tourism saja. Paket wisata tematik bisa dikembangkan dari empat kabupaten dan satu kota yang ada di DIY. Wisata tidak melulu Malioboro, DIY punya Taman Nasional Gunung Merapi, Geopark Gunung Sewu, Sand Dune, hingga pesona Menoreh. Ini semua bisa jadi lahan dan laboratorium pengembangan pariwisata. Menurutnya yang jadi masalah adalah minimnya inovasi dalam mengemas paket wisata berbasis edukasi. Berbasis minat wisatawan. Eksplorasi tema tertentu bisa dikembangkan, misalnya kawasan Kraton Ngayogyakarta.
Industri perjalanan bisa menawarkan skema kepada wisatawan untuk merasakan dan mendapatkan pengalaman baru menjadi tamu raja. “Kemasan co-creation, dari pihak penyedia jasa yang menawarkan keunikan dan tata cara minum teh di kampung Patehan misalnya, dapat dijadikan produk minat khusus,”. Wisatawan juga bisa dikenalkan budaya jawa yang masih dipelihara sampai saat ini melalui abdi dalem yang punya berbagai profesi. Ini bisa jadi modal kultural untuk mendekatkan wisatawan saat berkunjung ke DIY.
Secara umum wisatawan juga belum mengenal lebih dalam tentang Jogja Istimewa. Ini jadi tantangan bagi penyedia jasa perjalanan menawarkan Beyond Jogja. “Mengajak wisatawan jauh menikmati dan merasakan pengalaman baru selama di Jogja.”