• About UGM
  • Academic Portal
  • IT Center
  • Library
  • Research
  • Webmail
Universitas Gadjah Mada Pusat Studi Pariwisata
Universitas Gadjah Mada
  • Home
  • Tentang PUSPAR
    •  Visi & Misi
    •  Struktur Organisasi
    • Tenaga Ahli
    •  Keahlian
  • Kegiatan
    • Studi/Penelitian
    • Publikasi
    • Pelatihan
    • Seminar
    • Berita
  • Perpustakaan
  • JURNAL NASIONAL PARIWISATA
  • Beranda
  • Publikasi
  • Artikel
Arsip:

Artikel

PROMOSI PARIWISATA DENGAN APLIKASI ANDROID, TEPATKAH?

Artikel Tuesday, 4 July 2017

Pertumbuhan masyarakat kelas menengah di Indonesia terus meningkat sehingga saat ini jumlahnya sudah hampir setengah dari total populasi. Sebaliknya, angka kemiskinan terus turun menyisakan sekitar 11,66 persen atau sekitar 25,5 juta penduduk dari total populasi di negara ini (BPS, 2012). Artinya sekitar 79 persen dari total penduduk Indonesia ini sebenarnya sudah bisa hidup dengan ekonomi relatif baik, sehingga dengan peningkatan ekonomi masyarakat itu secara otomatis mendobrak daya beli sekaligus kemampuan bepergian atau berlibur. Berdasarkan data terakhir yang ada jumlah penduduk Indonesia yang melakukan perjalanan wisata pada tahun 2012 sebanyak 100 juta orang dengan frekuensi antara dua sampai tiga kali dalam setahun. Berdasarkan data tersebut maka sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat maka kebutuhan untuk berlibur pun meningkat. Dengan meningkatnya perjalanan wisata yang dilakukan maka diperlukan informasi tentang tujuan wisata, obyek wisata yang menarik, sarana yang tersedia seperti transportasi untuk mencapai daerah tujuan wisata, produk wisata yang diminati dan lain sebagainya. Akan tetapi selama ini untuk memperoleh informasi tersebut wisatawan sering mengalami kesulitan, karena tidak mengetahui dimana dan pada siapa harus meminta informasi.

Singkatnya ada kebutuhan informasi di bidang pariwisata yang terus meningkat dan perlu disiapkan dengan rapi dan terstruktur agar dapat diakses dengan mudah. Keberadaan Peta Wisata, Brosur, Leaflet dan Website memang menjadi andalan dalam melakukan pesebaran informasi terkait dengan sebuah destinasi pariwisata. Akan tetapi terdapat kelemahan pada masing-masing tools tersebut. Peta Wisata, tools ini memang dapat membantu wisatawan dalam menemukan tempat wisata dengan mudah. Akan tetapi dengan keterbatasan media yang ada maka informasi yang diinginkan oleh wisatawan tidak semua dapat ditampilkan di dalam peta. Kalaupun ditampilkan dengan sangat lengkap maka informasi yang ingin disampaikan menjadi hilang dan membingungkan. Kemudian brosur dan leaflet, media ini menyediakan informasi yang cukup tentang profil suatu daya tarik wisata. Namun media ini juga memiliki kendala karena tidak selalu terbarui dan tidak dapat interaktif. Selanjutnya adalah media website, sebagai pemandu wisata memang media website memiliki kecepatan cepat dan menjadi alternatif terakhir dalam meraih informasi. Akan tetapi kurangnya pemberian informasi terkini dan jumlah website penyedia informasi wisata yang sangat banyak semakin membuat wisatawan menjadi bingung untuk memilih tempat wisata yang tepat. Selain itu cara untuk mengkases juga menjadi tidak mungkin dimana wisatawan harus membawa minimal laptop untuk dapat mengakses website.  Tentu saja proses tersebut juga akan memakan waktu yang cukup lama.

Disisi lain perkembangan pengguna telepon genggam di Indonesia juga sangatlah mengagumkan. Saat ini Indonesia menempati peringkat ketiga pengguna telepon genggam terbanyak di seluruh Asia Pasifik. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) hingga akhir tahun 2011 jumlah pengguna telepon genggam di Indonesia diperkirakan mencapai 250 juta pelanggan, jauh lebih banyak ketimbang jumlah penduduk di negara ini yang hanya 240 juta orang. Angka tersebut disebabkan karena tidak sedikit penduduk Indonesia yang memiliki dua jenis telepon genggam untuk berkomunikasi, GSM dan CDMA. Meskipun demikian, penggunaan telepon genggam masih didominasi oleh operator GSM yang diperkirakan berjumlah 95 persen. Sedangkan dari segi usia, hampir 60 persen pengguna telepon genggam adalah masuk dalam golongan usia produktif. Bahkan, sebanyak 51 persen diantaranya didominasi oleh masyarakat yang berusia maksimal 24 tahun.

Perkembangan teknologi tersebut juga mempengaruhi perkembangan perangkat mobile atau telepon genggam. Telepon genggam yang banyak diperbincangkan saat ini adalah telepon genggam berbasis Operating system (OS) android. Android merupakan Operating system yang berjalan pada perangkat mobile dan bersifat open source. Sistem operasi ini telah men-support berbagai tools dan API untuk pembuatan program mobile termasuk dalam pengaksesan google maps. Keberadaan Android di Indonesia dimulai pada awal bulan juli tahun 2009. Pada awal penggunaannya telepon genggam android ini mengalami pertumbuhan yang sangat mengagumkan hingga tahun 2010 pengguna telepon genggam ini sudah mencapai 0,29 persen dari pengguna telepon genggam di Indonesia. Kemudian pada tahun 2011 meningkat menjadi 6,35 persen, dan terus meningkat hingga pada juli tahun 2012 menjadi 15 persen dari pengguna telepon genggam di Indonesia. Bahkan pada tahun 2012 merupakan peningkatan yang paling banyak dari 9,1 persen pada awal tahun menjadi 21,53 persen dari jumlah pengguna di akhir tahun 2012.

Fakta tersebut kemudian oleh beberapa kabupaten dan kota ditangkap dengan membuat terobosan-terobosan kreatif salah satunya adalah penggunaan aplikasi berbasis Android untuk memasarkan daerah-daerah wisata (seperti Kabupaten Banyuwangi, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, DKI Jakarta, dan masih banyak lagi). Menurut saya hal itu sangat baik menggunakan teknologi dengan pengguna terbanyak dan menjadi segmen pasar wisatawan lokal. Namun permasalahan lain muncul, ternyata media informasi pariwisata yang ada selama ini juga belum memberikan informasi yang tepat sesuai dengan keinginan atau kebutuhan wisatawan. Informasi yang diberikan hanya sebatas profil mengenai daya tarik wisata tertentu tanpa ada informasi yang lain. Karena menurut saya bahwa wisatawan tersebut membutuhkan informasi yang selengkap mungkin terkait dengan destinasi pariwisata. Sebagai contoh jika ingin informasi mengenai daya tarik wisata Kraton maka perlu juga disampaikan rute pencapaiannya, rumah makan terdekat, hotel terdekat dengan variasi harga, paket wisata yang ditawarkan serta kondisi nyata pada waktu itu seperti kondisi jalan menuju lokasi salah satunya. Penggunan teknologi terbaru dan banyak digunakan haruslah juga dilengkapi dengan informasi yang tetap dan sesuai dengan kebutuhan para penggunanya.

Penulis: Henry Brahmantya, Staf Peneliti Pusat Studi Pariwisata UGM

POTENSI WISATA DI UJUNG UTARA KALIMANTAN

Artikel Tuesday, 4 July 2017

Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa provinsi di Indonesia telah bertambah, dari 33 provinsi saat ini menjadi 34 provinsi. Ini terjadi dengan disahkannya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara). RUU pembentukan Kaltara ini sebelumnya disetujui oleh Rapat Paripurna DPR pada 25 Oktober 2012 untuk disahkan menjadi Undang-Undang (UU). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 16 November 2012 lalu telah menandatangani Undang-Undang tersebut.

UU tersebut menyebutkan, provinsi Kalimantan Utara berasal dari sebagian wilayah provinsi Kalimantan Timur. Wilayahnya terdiri dari 4 kabupaten dan 1 kota, yakni: Kabupaten Bulungan, Malinau, Nunukan dan Tana Tidung serta Kota Tarakan. Pasal 7 menyebutkan: “Ibukota provinsi Kalimantan Utara berkedudukan di Tanjung Selor, kabupaten Bulungan”. Sedang pasal 5 ayat (3) menyatakan, penetapan batas wilayah secara pasti di lapangan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) paling lama 5 (lima) tahun sejak peresmian provinsi Kaltara, tetapi dalam rancangan undang-undangan Batas-batas wilayah provinsi Kaltara adalah: sebelah Utara berbatasan dengan Negara Bagian Sabah, Malaysia, sebelah Timur berbatasan dengan Laut Sulawesi, sebelah Selatan berbatasan dengan empat kabupaten di provinsi Kaltim, yakni: Kutai Barat, Kutai Timur, Kutai Kartanegara, dan kabupaten Berau, dan sebelah Barat berbatasan dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia.

Provinsi Kalimantan Utara memang belum memiliki pemerintahan defenitif, sistem kendali pemerintahan masih di pegang oleh Kalimantan Timur selaku provinsi induk. UU tersebut juga mengamanatkan kepada Mendagri atas nama Presiden paling lambat 9 (sembilan) bulan sejak UU diundangkan agar meresmikan terbentuknya provinsi Kalimantan Utara, sekaligus pelantikan Pejabat (Pj) Gubernur, berarti paling lama Agustus 2013 Mendagri secara resmi akan mengumumkan provinsi ke-34 ini, sekaligus melantik Pejabat Gubernurnya.

Terlepas dari sistem UU yang ada, provinsi Kaltara memiliki potensi pariwisata yang sangat luar biasa, walaupun pariwisata belum dipandang sebagai sektor unggulan di bekas wilayah Kalimantan Timur ini.

Daya Tarik (Atraksi)

Kabupaten Malinau sebagai pemilik wilayah paling luas di provinsi ini, dengan tingkat kepadatan penduduk yang sangat rendah (kepadatan = 1,78; Luas wilayah 39.799,90 km2 dan Jumlah penduduk, 2009 adalah 70.717), memiliki Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) dibagian utara di wilayah Kabupaten Malinau, Bulungan dan sebagian di Kabupaten Nunukan. TNKM memiliki kawasan hutan primer dan skunder tua terbesar yang masih tersisa di Pulau Borneo dan kawasan Asia Tenggara. Nama Kayan Mentarang diambil dari dua nama sungai penting yang ada di kawasan taman nasional, yaitu Sungai Kayan di sebelah selatan dan Sungai Mentarang di sebelah utara. Kawasan TNKM memiliki luas lahan sekitar 1.35 juta hektare terletak pada ketinggian antara 200 – 2.500 m dpl, mencakup lembah-lembah dataran rendah, dataran tinggi pegunungan, serta gugus pegunungan terjal yang terbentuk dari berbagai formasi sedimen dan vulkanis.

Selain TNKM, masih ada Obyek Wisata air panas Semolon di kecamatan Mentarang, desa Paking. Menurut cerita masyarakat debit air panas ini sangat besar dan hangat serta bening, dipercaya dapat menyembuhkan penyakit kulit dan penyakit gatal lainya. Panorama alam sekitar kawasan adalah hutan tropis. Keunikan utama dari air panas Semolon adalah undak-undakan air panas berbentuk tangga berlapis-lapis, yang dialiri oleh air panas sepanjang tahun.

Sebagai kabupaten konservasi, kabupaten Malinau memiliki banyak hutan alam dan sungai, arung jeram dan air terjun banyak ditemui di wilayah ini, seperti: Arung jeram sungai Pujungan, Arung jeram Talang Busang, jeram sungai Boh, Arung jeram Temenggung, laham dan Besang pelihai. Air terjun Martin Billa, air tejun Gunung Sidi dan air Terjun Sungai Tidung.

Kabupaten Bulungan, sebagai calon ibukota provinsi memiliki banyak potensi daya tarik wisata, seperti: wisata buru di Hutan Pimping dan di Hutan Alam Inhutani Tanjung Selor. Di kedua area hutan ini sering dijadikan sebagai lokasi berburu satwa liar yang tidak di lindungi. Selain itu masih terdapat pantai Tanah Kuning, Pantai Taman Karang Tigan, Pantai Teluk Nibung dan pantai Pulau Bunyu.

Sebagai bekas sebuah kerajaan, Kabupaten Bulungan memiliki beberapa bangunan peninggalan Kerajaan Bulungan, yaitu bangunan kraton, masjid tua di belakang bangunan utama, benda-benda peninggalan sejarah dan budaya, situs atau makam raja-raja Bulungan dan kehidupan kesenian tradisional peninggalan kerajaan. Kompleks peninggalan kerajaan Bulungan ini dapat ditemui di daerah Tanjung Palas di tepi sungai Kayan.

Kabupaten Nunukan, selama ini lebih dikenal sebagai kota transit TKI bermasalah. Nunukan ternyata menyimpan Pantai Batu Lemampu di Kecamatan Sebatik. Pantai ini pernah dipakai sebagai tempat jambore pramuka tingkat nasional. Selain itu ada situs menhir dan pahatan manusia purba di Krayan, serta beberapa pola kehidupan tradisonal Dayak yang dapat di jumpaui di beberapa desa.

Yang paling menarik di Kabupaten Nunukan, tepatnya di Sebatik adalah Desa Aji Kuning. Setiap saat penghuni rumah ini bisa bolak-balik dari Malaysia dan Indonesia tanpa harus mengeluarkan biaya, karena rumah mereka terletak di perbatasan kedua negara, ruang tamu di Indonesia, dapur berada di Malaysia, jadi kalau mau masak di harus “pergi” ke Malaysia.

Kota Tarakan, kaya dengan obyek wisata sejarah Perang Dunia II, wisata alam hutan Mangrove dan hutan llindung, wisata pantai yang sedang dikembangkan dan wisata budaya. Pemerintah Kota sedang melakukan konservasi hutan Mangrove seluas kurang lebih 23 hektar, yang dipadukan dengan pengembangan satwa Bekantan (Nasalislarvatus) serta konservasi flora dan fauna lain secara alami. Dalam kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB). Jumlah Bekantan sudah mencapai 44 ekor, 14 ekor diantaranya lahir di kawasan konservasi ini (Macacafascicularis), sedikitnya 15 spesies mangrove, berang-berang, biawak, 31 spesies burung, dan berbagai jenis biota perairan seperti kepiting, udang dan ikan. Tarakan merupakan satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki konservasi mangrove dan bekantan yang berada di pusat kota.

Selain itu, Wisata Pantai Amal dan Laut berada di sebelah timur Pulau Tarakan. Terumbu karang di Pulau Derawan, Pulau Sangalaki dan Pulau Maratua di Kabupaten Berau (2 jam ditempuh dengan speedboat dari Tarakan). Wisata Hutan, Hutan Tarakan yang dikenal sebagai hutan rengas, mempunyai kekayaan flora dan fauna yang menarik diantaranya Kantung Semar (Nepenthes), sedikitnya terdapat 5 spesies Kantung Semar yang tersebar di hutan Tarakan, Pohon Agathis (Agathis Bornesies) yang berumur 200-an tahun di Hutan Lindung Kota Tarakan.

Wisata Tambang Minyak dan Gas di Tarakan: Rumah Drum, Pompa Angguk, Menara Minyak, SPG (Stasiun Pengumpul Gas), Pelabuhan Minyak. Wisata sejarah Perang Dunia II di Tarakan: Jembatan Besi, Bunker-bunker, Makam / Monumen Australia, Makam Jepang. Wisata Budaya: Perayaan Adat Iraw Tengkayu yang dilaksanakan bersamaan dengan Peringatan Hari Ulang Tahun Kota Tarakan pada bulan Desember, adat dan budaya suku Tidung lainnya.

Kabupaten Tana Tidung, sengaja dibentuk untuk mengakomodir terbentuknya provinsi Kaltara. Wilayah kebapaten ini merupakan bekas 3 (tiga) wilayah kecamatan di Nunukan dan Bulungan. Belum banyak potensi yang sudah digali dari daerah ini, tetapi karena lokasinya berada di aliran Sungai Sesayap – Tidung Pelas. Wisata sungai dan selusur hutan bakau menjadi andalah potensial serta beberapa kehidupan tradisional masyarakat suku tidung.

Akses

Ditinjau dari sisi aksesibilitas/kemudahan pencapaian, Kota Tarakan menjadi pintu masuk utama (main gate) transportasi udara. Bandar udara internasional Juwata melayani 20 – 25 penerbangan setiap hari mulai pukul 06.00 hingga 19.00 waktu setempat. Sebagain besar wilayah Indonesia tengah dan timur serta Tawau dan Sabah di Malaysia menjadi tujuan penerbangan dari Tarakan. Transportasi utama di regional wilayah Kal-Tara adalah angkutan sungai dan penyeberangan, karena memang secara geografis sebagian besar wilayahnya adalah sungai dan laut serta pulau-pulau kecil. Dari kota Tarakan ke kota-kota lain di masing masing kabupaten dapat ditempuh dengan speed, dengan waktu tempuh + 3 – 4 jam. Tiap hari dilayani oleh 4 – 5 pelayaran dengan kapasitas speed 20 – 40 orang/ per perahu. Untuk tujuan kota kecamatan tersedia speed yang relatif lebih kecil atau pesawat perintis dengan frekuensi penerbangan yang kadang kala belum terjadwal secara reguler. Secara umum jalur jalan di masing-masing ibukota kabupaten sudah relatif baik, yang masih sulit ditempuh adalah akses ke pedalaman atau beberapa kota kecamatan. Keberdaan sarana angkutan juga masih sangat terbatas. Bila wisatawan menginginkan sewa kendaraan, selain di Kota Tarakan di kabupaten lainnya mungkin masih sangat sulit untuk mendapatkannya, tetapi yang relatif di dapat adalah kendaraan roda dua dan perahu motor, bisa di sewa kapan saja dan kemana pun.

Amenitas

Amenitas wisata berupa hotel dan penginapan banyak tersedia di Kota Tarakan. Tarakan memiliki 36 hotel dan penginapan, salah satu diantaranya “berpangkat” bintang 4, beberapa bintang tiga dan dua, sementara lainnya merupakan hotel melati dan penginapan/losmen. Disampaing itu beberapa biro perjalanan juga tersedia di Tarakan, walaupun aktifitas dan kegiatan utamanya lebih banyak pada jual tiket penerbangan, kalau sebagai operator perjalanan wisata masih sangat jarang. Kabupaten Bulungan memiliki kira-kira 20 (dua puluh) hotel dan penginapan serta losmen, semuanya terkonsentrasi di Tanjung Selor dan sekitarnya serta di Pulau Bunyu terdapat dua penginapan. Kabupaten Nunukan memiliki sekitar 16 hotel dan penginapan, rata-rata hotel dan penginapan ini masih relatif baru. Salah satu hotel ada yang memiliki jumlah kamar sampai 90 unit. Hotel Firdaus dan Marvell merupakan favorit tujuan wisatawan yang berkunjung ke Nunukan, karena kedua hotel ini memiliki kapasitas yang banyak serta fasilitas yang cukup baik serta harga relatif muruah untuk ukuran satandart harga di Kalimantan. Secara keseluruhan fasilitas dasar kebutuhan wisatawan sudah terpenuhi di daerah Kalimantan Utara, walaupun didominasi oleh wisata alam dan minat khusus. Provinsi Kal-tara walaupun secara resmi belum di resminkan dan pejabat Gubernurnya belum ditunjuk, tetapi wilayah ini telah siap menerima kunjungan wisatwan..

Penulis: Henry Brahmantya, Staf Peneliti Pusat Studi Pariwisata UGM

WUJUDKAN JOGJA SEBAGAI DESTINASI BERDAYA SAING

Artikel Tuesday, 4 July 2017

Tak perlu dipungkiri bila Yogyakarta – di dalamnya mencakup 1 kota dan 4 kabupaten – masih menjadi pilihan bagi para pelancong, baik domestik ataupun mancanegara.  Berbagai predikat disandang kota ini  selain ditopang faktor penunjang lainnya sehingga menyebabkan siapapun mudah dapat melakukan mobilitas ke dan dari Yogyakarta.  Berbagai aktivitas wisata dapat ditemukan dan  hal itu ditunjang pula dengan aspek lainnya sehingga memikat wisatawan.  Itu semua tidak lain Yogyakarta telah memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif disektor kepariwisataan.  Harus diakui bila sektor kepariwisataan di Yogyakarta tidak dapat diabaikan eksistensinya, yang secara signifikan telah memberikan kontribusi bagi masyarakat baik secara ekonomi sosial dan budaya serta bagi pemerintah daerah dan kalangan swasta. Bukan itu saja, lokomotif ekonomi Yogyakarta juga masih ditopang dari sektor pendidikan yang dinilai masih memiliki kualitas baik serta didukung dengan keragaman jenis dan latar belakang lembaga pendidikan. Sehingga bisa dikatakan sekolah di Jogja masih menjadi pilihan bagi lulusan SMA luar DIY. Kreatifitas dan daya tanggap masyarakat Yogyakarta juga memberikan kontribusi bagi keberlangsungan ekonomi kreatif yang muncul baik dari kegiatan kesenian, disain grafis, kerajinan, dan kegiatan yang bernafaskan kreatifitas, termasuk merebaknya fenomena hobies yang bisa menjadi potensial market bagi pariwisata. Disisi lain, tingkat keterbukaan sosial yang relative tinggi dan akses masuk yang mudah ke DIY menjadikan wilayah DIY ini sering kali dipergunakan sebagai tempat untuk melakukan kegiatan bisnis/transaksi ataupun organisasi yang dirasa meresahkan masyarakat dan ini akan berdampak pada image buruk Yogyakarta.

 

Destinasi Berdaya Saing

Untuk menuju Jogja sebagai Destinasi yang Tangguh penting melihat perkembangan produk wisata yang tersedia serta secara jeli pula melihat perubahan minat pasar wisata.  Ini artinya orientasi yang perlu dipikirkan adalah bagaimana menyiapkan segenap fasilitas wisata sesuai dengan market driven dan tetap memperhatikan konsep pembangunan berkelanjutan.  Agar tidak tetuko, sing teka ora tuku-tuku, dan sing tuku ora teka-teka. Untuk itu, menurut hemat penulis, apapun bentuk dan hasil regulasi kepariwisataan bagi Yogyakarta yang diciptakan seyogyanya mampu mencermati perkembangan kepariwisataan.  Termasuk berbagai peraturan daerah yang diterbitkan jangan sampai kontraproduktif dengan semangat  pariwisata yang diembannya. Peranserta berbagai kalangan pelaku wisata (private sectors), penyedia jasa wisata (pedagang kaki lima, asongan, pemandu, BPW) dan masyarakat setempat pun sangat diharapkan berkontribusi secara positif agar tercipta kondisi yang  Berhati Nyaman.  Daya saing destinasi dipahami sebagai kemampuan sebuah destinasi untuk memenuhi kebutuhan pasar wisatawan lewat berbagai sumberdaya yang dimiliki. Tentu saja keberhasilan menjalankan visi Yogyakarta sebagai destinasi pariwisata yang prospektif patut didukung semua pihak untuk berkontribusi dan berprinsip bahwa pariwisata itu adalah investasi dan bordeless system.  Untuk menuju Jogja sebagai destinasi yang berdaya saing Yogyakarta perlu kiranya kita intropeksi atas kondisi yang secara langsung ataupun tidak terkait dengan aspek destinasi yaitu : a). Transportasi,b). Atraksi,c). Akomodasi, d). Fasilitas Jasa lainnya,e).  Institusi kelembagaan terkait, f). Infrastruktur pendukug, g). Pasar Wisatah, dan  h). Masyarakat .

Dari hasil survai yang dilaksanakan Dinpar Kota Yogyakarta (2008)  diperoleh informasi sebagai berikut : (1) Yogyakarta dikenal sebagai tempat wisata. Terbukti hampir semua wisatawan lebih 3 kali pernah datang ke Jogja. Persentase tertinggi adalah 1-4 kali berkunjung ke kota Jogja, (2) Motivasi berkunjung dari wisnus terbagai menjadi empat besar yaitu: berlibur (57%), MICE (18%), menjenguk saudara dan teman (13%) dan lainnya (12%). Sedangkan motivasi dari wisman terbagi menjadi empat besar pula, yaitu: berlibur (66%), MICE (20%), menjenguk saudara dan teman (7%) dan lainnya (7%), (3). Besaran Pengeluaran wisata/hari : wisnus < Rp. 500.000,-/hari, dengan nilai rata-rata pembelajaan untuk : makan minum (26%), akomodasi (14,29%), belanja (25,72%), Cinderamata (16,74%), & Transportasi (13,81%) Sedangkan pengeluaran wisman menghabiskan antara US$ 26-50 dan diatas US$ 100, dengan nilai rata-rata pembelanjaan untuk : makan-minum (19,49%), akomodasi (27,34%), transpotasi (12,99%), souvenir (10,36%), belanja (17,87%), dan pemandu wisata (4,16%), (4) Meski demikian, angka untuk LoS belum beranjak lebih di angka 3. Survai membuktikan 70% wisnus & 48% wisman berada di Jogja paling banyak 1-3 hari. (5) Penilaian ODTW oleh wisman secara berurutan meliputi : Budaya (51,4%), Kuliner (48,6%), Belanja (46,7%), Hiburan Malam (42,1%), & Buatan (34,6%). Sedangkan yang diminati wisnus : Budaya (62,2%), Kuliner (57%), Belanja (55%), Buatan (47,7%), & Hiburan Malam (31%), dan (6) Jogja masih mampu memberikan kenangan yang baik bagi wisatawan. Ini ditandai dengan tingginya minat unuk berkunjung kembali serta keinginan untuk merekomendasikan Yogyakarta sebagai destinasi wisata kepada orang lain.

Secara umum kepariwisataan di Yogyakarta akan semakin perfect & saleable bila secara optimal mendapat dukungan semua pihak. Sektor jasa ini sangat rentan dengan gejolak, baik yang terjadi di lingkungan internal atau lingkungan eksternal. Bagi Yogyakarta yang diberi karunia berupa keragaman sumberdaya pariwisata menjadi bagian penting yang harus selalu digarap dengan sentuhan dan improvisasi yang tinggi didukung dengan SDM yang kreatif dan mampu melihat selera pasar, tanpa harus kehilangan jati diri sebagai kota Budaya.  Budaya berwisata pun perlu diciptakan selain mendorong masyarakat di sebuah destinasi untuk menjadi tuan rumah yang baik!. Tiga kata kunci penting lainnya yang tidak dapat dilupakan adalah “ Positioning”,  “Differensiasi”, dan “Branding “ sebagai upaya yang harus dijalankan untuk menuju Yogyakarta sebagai Destinasi Berdaya Saing.

Penulis : Destha Titi Raharjana, staf peneliti Pusat Studi Pariwisata UGM

MENGURAI KEMACETAN LIBURAN DENGAN TRANSJOGJA, MUNGKINKAH?

Artikel Tuesday, 4 July 2017

Minat wisatawan berkunjung ke Jogja semakin meningkat. Pada tahun 2007 jumlah wisatawan yang berkunjung ke Jogja sebanyak 2.203.830 orang (wisman 76.203 orang dan wisnus 2.127.627 orang), pada tahun 2011 meningkat menjadi 3.206.334 orang (wisman sebanyak 148.756 orang dan wisnus sebanyak 3.057.578 orang) (BPS DIY, 2012). Peningkatan sebanyak 45,5% ini menunjukan bahwa pesona Jogja bagi wisatawan masih tinggi. Hal ini juga sejalan dengan bertambahnya fasilitas wisata khusunya hotel yang bertambah 6 buah hotel bintang dan 680 hotel melati selama kurun waktu 2007-2011.

Namun, apa yang terjadi ketika wisatawan berbondong-bondong datang ke Jogja? Macet. Dikala liburan sekolah, long weekend, lebaran dan hari libur lainnya, berkendara di jalanan Jogja sangat tidak menyenangkan. Waktu tempuh pada hari biasa sekitar 30 menit, pada saat liburan meningkat menjadi dua kali lipat. Maklum, karena jalan dipenuhi bis wisata, motor, mobil sewa, dan mobil pribadi yang dipakai wisatawan untuk berkeliling. Sekali-dua kali kondisi ini tidak menjadi perbincangan, namun ketika selalu terulang, kondisi ini menjadi memuakan.

Jika dicermati, kemacetan di Jogja tidak hanya terjadi di seputaran daya tarik wisata unggulan, namun terjadi di seantero kota. Hal ini terjadi  karena wisatawan nusantara yang datang ke Jogja lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi atau kendaraan sewa (bis dan mobil) selama berwisata. Pilihan ini membuat kendaraan yang tumpah ke jalanan Jogja melebihi daya dukung jalan, sehingga arus kendaraan tidak lancar. Pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana mengurangi jumlah kendaraan yang ada di jalanan Jogja? Sebelum menemukan jawaban yang tepat, timbullah pertanyaan lainnya yaitu: menggapa wisatawan memilih menggunakan kendaraan pribadi atau sewa padahal terdapat berbagai alat transportasi umum bertebaran di Jogja?

Trans Jogja, merupakan salah satu transportasi umum yang melayani rute mengelilingi Kota Joga, ditambah sedikit ke arah timur sampai dengan Prambanan. Jika dicermati, rute dan titik henti dari Trans Jogja sejalan dengan rute dan titik-titik daya tarik wisata di Jogja. Dengan demikian, sesungguhnya dari sisi rute dan stop point, Trans Jogja dapat dijadikan alat transportasi yang menghubungkan objek wisata satu ke objek wisata yang lain. Ditambah ongkos Trans Jogja sangat murah, tiga ribu rupiah sampai ketujuan, asal selama pergantian jalur tidak pindah halte. Meski demikian, Trans Jogja tidak serta merta diminati wisatawan. Kenapa? Karena dalam perspektif pariwisata, transportasi tidak semata menghubungkan satu daya tarik dengan daya tarik yang lain. Terdapat pertimbangan kenyamanan yang diinginkan wisatawan.

Akan kita cermati mengapa Trans Jogja kurang populer di kalangan wisatawan. Setidaknya ada tiga faktor disini, dua faktor pertama dari sisi alat transportasi dan pendukungnya, faktor ketiga adalah dari sisi wisatawan. Faktor pertama, armada terbatas, sehingga waktu tunggu antar bis dalam jalur yang sama maupun antar jalur relatif lama. Hal ini sangat terasa pada jalur-jalur favorit seperti prambanan-malioboro-terminal. Keterbatasan armada ini mungkin juga disebabkan karena tidak adanya jalur khusus bagi bis, sehingga jika armada bertambah bisa jadi menambah kemacetan di ruas-ruas tertentu. Dengan demikian solusi yang diambil tidak hanya menambah armada, namun perlu mempertimbangkan aspek-aspek pendukung lainnya. Kedua kondisi armada yang kurang terawat. Sayang sekali beberapa armada kurang nyaman digunakan apalagi untuk transportasi wisata. Contoh nyata adalah kursi-kursi yang rusak. Meski hanya satu atau dua kursi di sebuah armada, namun cukup mengganggu kenyamanan penumpang. Terlebih jika kerusakan terjadi pada rute-rute yang selalu dipenuhi penumpang. Jika masalah ini dapat diatasi, maka Trans Jogja akan lebih nyaman khususnyabagi wisatawan.

Faktor ketiga lebih kepada cara pandang wisatawan ketika bebergian menggunakan transportasi umum. Pada umumnya masyarakat kita ingin sesuatu yang “mudah”. Begitu keluar rumah, kalau bisa langsung bisa naik kendaraan sampai di depan pintu tempat tujuan. Hal ini bisa diperoleh ketika menggunakan kendaraan pribadi. Ibaratnya mau turun dan naik dimanapun tidak masalah, bertingkah bagaimanapun di dalam kendaraan tidak ada yang melarang. Ketika naik kendaraan umum, khususnya Trans Jogja, maka perilaku ini harus dirubah. Penumpang harus rela berjalan kaki menuju halte, menunggu datangnya bis, dan antri untuk naik bis dan berbagi dengan penumpang lain di dalam bis. Faktor ketiga ini lebih sulit diantisipasi dibanding dua faktor sebelumnya. Kesadaran masyarakat tentang “etika” dalam berkendaraan umum harus ditingkatkan. Edukasi dan sosialisasi merupakan cara yang dapat diambil agar kesadaran tersebut muncul.

Jika Trans Jogja dapat bersaing sebagai angkutan umum favorit wisatawan, diharapkan kendaraan pribadi atau sewa yang digunakan untuk berkeliling Jogja selama liburan berkurang karena penggunanya lebih memilih menggunakan Trans Jogja. Namun demikian, tidak serta merta kemacetan dapat hilang. Solusi alternatif ini harus dikombinasikan dengan solusi-solusi lainnya, sehingga macet kala liburan dapat dihindarkan dan Jogja tetap berhati nyaman dan istimewa di mata wisatawan.

Penulis : Esti Cemporaningsih, Staf Peneliti Pusat Studi Pariwisata UGM

MENGISTIMEWAKAN PARIWISATA DIY

Artikel Tuesday, 4 July 2017

Pembaca hendaknya tidak salah tafsir terhadap judul artikel ini. Yang dimaksud adalah bagaimana caranya agar pariwisata, seperti DIY sendiri, benar-benar istimewa bagi wisatawan. Wisatawan yang berkunjung ke DIY memperoleh pengalaman istimewa yang sulit ditemukan di daerah lain. Asa itu bukan khayalan kosong, sebab pariwisata sudah menjadi citra kuat DIY. Melalui pariwisata yang istimewa citra keistimewaan DIY semakin ditegaskan.

Harus diakui, bahwa hal istimewa tidak terjadi secara alamiah, tapi dibentuk oleh kerja keras yang khusus dan berlanjut. Untuk menjadi nomor teratas di pentas nasional, maka pemangku kepentingan pariwisata DIY wajib melakukan usaha ekstra-kreatif berdurasi panjang. Destinasi lain boleh saja tidak perduli pada keluhan wisatawan atas mutu layanan, tapi tidak untuk DIY, atas nama pariwisata istimewa tadi. Di sini keluhan sejenis dihargai sebagai bentuk simpati untuk melecut daya saing.

Popularitas DIY sebagai salah satu destinasi pariwisata favorit nasional sudah cukup dikenal publik. Namun, untuk menjadi istimewa di mata mereka, pariwisata harus menyuguhkan layanan yang ‘lain daripada yang lain’. Kata kuncinya adalah keramahan bagi semua tipe wisatawan, tak perduli wisman atau wisnus, laki-laki atau perempuan, normal atau difabel. DIY perlu diposisikan sebagai destinasi yang ramah bagi semua orang (baik-baik).

Salah satu contoh kecil adalah penyediaan celah waktu menyeberang jalan bagi tunanetra atau kelompok difabel lainnya. Sejauh ini perempatan jalan dan lampu merah hanya ramah bagi kelompok pejalan kaki dengan penglihatan normal. Bagi penyandang masalah indera pemantau,  lampu merah-kuning-hijau tidak berarti. Artinya, rambu-rambu lalu-lintas itu tidak membantu mereka untuk menjalankan aktivitas wisatanya. Karena itu, demi melayani kepentingan seluruh tipe wisatawan, maka tombol sinyal penyeberangan bagi orang buta di lokasi-lokasi lampu pengatur lalu-lintas harus disediakan.

Tentu bukan itu saja. DIY sebagai destinasi pariwisata istimewa perlu disuguhkan kepada publik melalui pengadaan fasilitas yang ramah bagi anak-anak. Idenya didasari oleh fakta, bahwa sangat banyak wisatawan datang secara berkelompok dan terdiri dari anak-anak. Bus-bus wisata penuh dengan anak sekolah, bahkan setingkat taman kanak-kanak. Kebutuhan mereka atas layanan jasa jauh berbeda dengan kebutuhan orang dewasa, sehingga fasilitas yang disediakan sesuai sesuai dengan kebutuhan itu.

Contoh sederhana adalah fasilitas toilet. Di destinasi wisata lain, misalnya, toilet umum diperuntukkan bagi semua lapisan masyarakat. Mengapa? Mungkin asasnya adalah persamaan hak di atas toilet. Itu tak perlu diperdebatkan. Namun, masalah lalu muncul karena fasilitas yang disediakan juga masih berasas persamaan umur pengguna toilet, khususnya kaum laki-laki. Anak-anak TK menggunakan toilet yang didesain untuk orang dewasa. Akibatnya mudah ditebak. Toilet umum menjadi kotor, bau, kumuh dan tak laik pakai.

Untuk mengistimewakan pariwisata, maka kenyataan itu tidak boleh hadir di DIY. Pemangku kepentingan ditantang untuk merancang layanan wisata yang ramah anak-anak. Bilamana perlu, tidak salah menoleh best practice di negeri lain. Berbagai destinasi wisata favorit di Eropa cukup ramah dengan anak-anak. Di sana publik bisa menemukan toilet dengan mudah dalam kondisi baik, bersih dan lengkap. Toilet umum dilengkapi dengan kamar ganti popok bayi. Bahkan, ruang untuk ibu menyusui pun tersedia. Di kereta api dan bus umum sengaja disediakan tempat khusus bagi kereta dorong bayi maupun lansia. Ketika kereta dorong bayi atau lansia akan turun, badan bus secara otomatis diturunkan, agar lansia mudah menapakkan kaki ke jalan dan si bayi di dalam kereta nyaman keluar dari bus. Cara ini perlu ditiru karena sangat ramah bagi wisatawan.

Masalah generik destinasi pariwisata, termasuk DIY adalah lalu-lintas yang super-padat. Kendaraan wisatawan hilir-mudik ke dan dari berbagai atraksi wisata. Menurut perkiraan Kepala Dishubkominfo, pada musim puncak akhir tahun lalu ada sekitar satu juta unit kendaraan roda empat masuk DIY. Jumlah sepeda motor juga hampir sama. Akibatnya, ruas jalan utama menjadi sesak, padat, macet dan tentu menebar polusi kadar tinggi.

Solusi cerdas harus segera ditemukan. Ketika destinasi wisata lain dilanda kemacetan total dan kepungan polusi, maka DIY sebagai destinasi harus mampu menghadirkan pariwisata istimewa: bebas macet. Jalur pedestrian wajib diberlakukan. Moda transportasi umum diberi hak istimewa: jalur, jarak dan jam kerja fleksibel. Moda transportasi pribadi dikenai disinsentif: jalur, jarak, jam operasi dan tarif parkir terbatas.

Meskipun berskala mikro, namun tindakan-tindakan kreatif seperti itu diharapkan mampu menguatkan aura istimewa pariwisata DIY. Semoga! ***

Penulis : Prof. Dr.-Phill. Janianton Damanik, M.Si. (Ketua Tim Ahli Pusat Studi Pariwisata UGM)

Recent Posts

  • Lestarikan Kebudayaan: Puspar UGM Rancang Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah Barito Timur
  • Kolaborasi Mewujudkan Pariwisata Berkelas Dunia: Puspar UGM dan Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sumbawa Barat Susun Ripparkab Tahun 2025-2045
  • Puspar UGM Kaji Strategi Pengembangan Pemasaran Pariwisata Kabupaten Berau
  • Puspar UGM Lakukan Presentasi Pendahuluan Penyusunan Ripparkab Nganjuk
  • Merancang Masa Depan Pariwisata Kulon Progo : Sinergi Puspar UGM dan Dinas Pariwisata dalam Penyusunan Naskah Akademik Ripparda
Universitas Gadjah Mada

Pusat Studi Pariwisata
Universitas Gadjah Mada

Kompleks Bulaksumur D-8, Yogyakarta,
55281 Indonesia

Email: ps.pariwisata@ugm.ac.id
Telp/Fax : (+62) 274 564-138

WhatsApp : +62 87829709745

© Puspar, Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY