TATA KELOLA KCB BOROBUDUR
Antara Kepentingan Pelestarian dan Pariwisata
Oleh: Marsis Sutopo
Ketika Candi Borobudur dibangun pada sekitar abad VIII – IX Masehi, yang kemudian ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya pada sekitar awal abad XI Masehi, kemudian ditemukan kembali pada tahun 1814, dipugar pertama kali pada tahun 1907-1911, kemudian dipugar lagi secara besar-besaran pada tahun 1973-1983 sampai menjadi kondisinya sekarang ini. Peninggalan nenek moyang yang berupa Candi Borobudur ternyata setelah 1200 tahun kemudian mendatangkan banyak manfaat tapi juga masalah.
Mendatangkan banyak manfaat karena menjadi destinasi wisata yang setiap tahun dapat mendatangkan jutaan wisatawan nusantara maupun wisatawan manca negara. Bahkan sekarang sudah ditetapkan menjadi salah satu dari sepuluh Bali Baru sesuai kebijakan pengembangan pariwisata nasional. Dalam pidato nota keuangan 2020 Presiden Jokowi menyampaikan bahwa Candi Borobudur akan dijadikan sebagai destinasi wisata super prioritas bersama dengan Danau Toba, Labuan Bajo, dan Mandalika.
Namun demikian, seiring dengan manfaat yang telah diberikan oleh Candi Borobudur kepada dunia pariwisata secara bersamaan juga membawa masalah dalam pelestariannya. Untuk menyeimbangkan antara kepentingan pelestarian dan pariwisata tentunya memerlukan Tata Kelola yang dapat mengakomodasi semua kepentingan secara seimbang. Tata Kelola yang bagaimana yang dapat mengakomodasi semua kepentingan agar Candi Borobudur tetap lestari dan memberikan manfaat sampai ke anak cucu? Itulah pertanyaan yang perlu kita diskusikan dan cari bentuknya. (MS)
___________________________
Catatan:
Bali Baru merupakan kebijakan pemerintah dalam pengembangan pariwisata nasional yang meliputi Danau Toba, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu, Candi Borobudur, Bromo, Mandalika, Labuan Bajo, Wakatobi, dan Morotai.
Waktu dan tempat :
Senin, 30 September 2019
Jam 09.00 s/d 11.00 WIB
R. Pertemuan
Pusat Studi Pariwisata UGM
Kompleks Bulaksumur J-3 Yogyakarta
Registrasi : Isni (0274) 564-138