Pembaca hendaknya tidak salah tafsir terhadap judul artikel ini. Yang dimaksud adalah bagaimana caranya agar pariwisata, seperti DIY sendiri, benar-benar istimewa bagi wisatawan. Wisatawan yang berkunjung ke DIY memperoleh pengalaman istimewa yang sulit ditemukan di daerah lain. Asa itu bukan khayalan kosong, sebab pariwisata sudah menjadi citra kuat DIY. Melalui pariwisata yang istimewa citra keistimewaan DIY semakin ditegaskan.
Harus diakui, bahwa hal istimewa tidak terjadi secara alamiah, tapi dibentuk oleh kerja keras yang khusus dan berlanjut. Untuk menjadi nomor teratas di pentas nasional, maka pemangku kepentingan pariwisata DIY wajib melakukan usaha ekstra-kreatif berdurasi panjang. Destinasi lain boleh saja tidak perduli pada keluhan wisatawan atas mutu layanan, tapi tidak untuk DIY, atas nama pariwisata istimewa tadi. Di sini keluhan sejenis dihargai sebagai bentuk simpati untuk melecut daya saing.
Popularitas DIY sebagai salah satu destinasi pariwisata favorit nasional sudah cukup dikenal publik. Namun, untuk menjadi istimewa di mata mereka, pariwisata harus menyuguhkan layanan yang ‘lain daripada yang lain’. Kata kuncinya adalah keramahan bagi semua tipe wisatawan, tak perduli wisman atau wisnus, laki-laki atau perempuan, normal atau difabel. DIY perlu diposisikan sebagai destinasi yang ramah bagi semua orang (baik-baik).
Salah satu contoh kecil adalah penyediaan celah waktu menyeberang jalan bagi tunanetra atau kelompok difabel lainnya. Sejauh ini perempatan jalan dan lampu merah hanya ramah bagi kelompok pejalan kaki dengan penglihatan normal. Bagi penyandang masalah indera pemantau, lampu merah-kuning-hijau tidak berarti. Artinya, rambu-rambu lalu-lintas itu tidak membantu mereka untuk menjalankan aktivitas wisatanya. Karena itu, demi melayani kepentingan seluruh tipe wisatawan, maka tombol sinyal penyeberangan bagi orang buta di lokasi-lokasi lampu pengatur lalu-lintas harus disediakan.
Tentu bukan itu saja. DIY sebagai destinasi pariwisata istimewa perlu disuguhkan kepada publik melalui pengadaan fasilitas yang ramah bagi anak-anak. Idenya didasari oleh fakta, bahwa sangat banyak wisatawan datang secara berkelompok dan terdiri dari anak-anak. Bus-bus wisata penuh dengan anak sekolah, bahkan setingkat taman kanak-kanak. Kebutuhan mereka atas layanan jasa jauh berbeda dengan kebutuhan orang dewasa, sehingga fasilitas yang disediakan sesuai sesuai dengan kebutuhan itu.
Contoh sederhana adalah fasilitas toilet. Di destinasi wisata lain, misalnya, toilet umum diperuntukkan bagi semua lapisan masyarakat. Mengapa? Mungkin asasnya adalah persamaan hak di atas toilet. Itu tak perlu diperdebatkan. Namun, masalah lalu muncul karena fasilitas yang disediakan juga masih berasas persamaan umur pengguna toilet, khususnya kaum laki-laki. Anak-anak TK menggunakan toilet yang didesain untuk orang dewasa. Akibatnya mudah ditebak. Toilet umum menjadi kotor, bau, kumuh dan tak laik pakai.
Untuk mengistimewakan pariwisata, maka kenyataan itu tidak boleh hadir di DIY. Pemangku kepentingan ditantang untuk merancang layanan wisata yang ramah anak-anak. Bilamana perlu, tidak salah menoleh best practice di negeri lain. Berbagai destinasi wisata favorit di Eropa cukup ramah dengan anak-anak. Di sana publik bisa menemukan toilet dengan mudah dalam kondisi baik, bersih dan lengkap. Toilet umum dilengkapi dengan kamar ganti popok bayi. Bahkan, ruang untuk ibu menyusui pun tersedia. Di kereta api dan bus umum sengaja disediakan tempat khusus bagi kereta dorong bayi maupun lansia. Ketika kereta dorong bayi atau lansia akan turun, badan bus secara otomatis diturunkan, agar lansia mudah menapakkan kaki ke jalan dan si bayi di dalam kereta nyaman keluar dari bus. Cara ini perlu ditiru karena sangat ramah bagi wisatawan.
Masalah generik destinasi pariwisata, termasuk DIY adalah lalu-lintas yang super-padat. Kendaraan wisatawan hilir-mudik ke dan dari berbagai atraksi wisata. Menurut perkiraan Kepala Dishubkominfo, pada musim puncak akhir tahun lalu ada sekitar satu juta unit kendaraan roda empat masuk DIY. Jumlah sepeda motor juga hampir sama. Akibatnya, ruas jalan utama menjadi sesak, padat, macet dan tentu menebar polusi kadar tinggi.
Solusi cerdas harus segera ditemukan. Ketika destinasi wisata lain dilanda kemacetan total dan kepungan polusi, maka DIY sebagai destinasi harus mampu menghadirkan pariwisata istimewa: bebas macet. Jalur pedestrian wajib diberlakukan. Moda transportasi umum diberi hak istimewa: jalur, jarak dan jam kerja fleksibel. Moda transportasi pribadi dikenai disinsentif: jalur, jarak, jam operasi dan tarif parkir terbatas.
Meskipun berskala mikro, namun tindakan-tindakan kreatif seperti itu diharapkan mampu menguatkan aura istimewa pariwisata DIY. Semoga! ***
Penulis : Prof. Dr.-Phill. Janianton Damanik, M.Si. (Ketua Tim Ahli Pusat Studi Pariwisata UGM)