Review masterplan Sri Aji Joyoboyo tahun 2014 merumuskan konsep pengembangan kawasan Sri Aji Joyoboyo sebagai kawasan wisata spiritual. Kawasan wisata spiritual ini merupakan atraksi utama sebagai pusat dan generator semua kegiatan wisata di destinasi pariwisata spiritual dan budaya Desa Menang. Sementara itu kegiatan wisata yang terbangun oleh adanya kegiatan wisata spiritual, yaitu wisata budaya dan sejarah, merupakan kegiatan wisata penunjang yang berada di luar kawasan wisata spiritual. Konsep ini diwujudkan secara spasial dalam mintakad kawasan yang terdiri dari tiga zona yaitu: (1) Zona Spiritual; (2) Zona Sejarah; dan (3) Zona Ekonomi Kreatif.
Pembangunan kawasan ini dilakukan dengan bertahap. Upaya ini diawali dengan upaya pembebasan lahan. Selanjutnya akan dilakukan pembangunan fisik secara bertahap. Dari beberapa fasilitas yang ada di ketiga zona tersebut, yang paling memungkinkan untuk dibangun sampai pada tahun 2020 adalah amphitheater dan museum. Amphiteater dan museum ini terletak di zona sejarah. Hal ini dikarenakan materi/peninggalan yang akan menjadi koleksi museum sudah ada. Selain itu, atraksi kesenian yang dapat ditampilkan di amphitheater pun sudah eksis dan membutuhkan fasilitasi untuk dapat tampil dan lebih berkembang. Oleh karena kebutuhan tersebut, pada tahun 2018 ini, dilakukan penyusunan detailed engineering design (DED) kawasan agar dapat segera dilakukan pembangunan amphitheater dan museum.
Salah satu daerah otonom di Aceh yang memiliki potensi pariwisata adalah Kabupaten Aceh Tamiang. Aceh Tamiang memiliki sumber daya pariwisata berupa pesona alam baik pesisir, daratan maupun pegunungan. Selain potensi alam, Aceh Tamiang memiliki potensi seni budaya dan situs-situs sejarah yang hingga kini masih terawat dengan baik. Namun dalam perkembangannya hingga kini, sektor kepariwisataan di Aceh Tamiang belum optimal dikembangkan, salah satu sebabnya karena belum adanya dokumen (instrumen) perencanaan yang komprehensif sebagai landasan untuk mengatur pembangunan kepariwisataan dalam bentuk RIPPARDA. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan mengamanatkan setiap provinsi, kabupaten/kota harus memiliki Rencana Induk Pembangunan Pariwisata.
Secara geografis, Kabupaten Aceh Tamiang terletak 03°53’18,81″;-04°32’56,76″; LU, 97°43’41,51″; – 98°14’45,41″; BT / EL dengan luas wilayah 1 957,02 km 2 , ketinggian tempat : 20 – 700 mdpl dengan 12 kecamatan dan 213 kampung. Luas wilayah Kabupaten Aceh Tamiang: 1.957,02 km 2, secara geografis batas-batas administrasi wilayah, sebelah Utara dengan Kabupaten Aceh Timur, Kota Langsa dan Selat Malaka; sebelah Timur dengan Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara; sebelah Selatan dengan Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Gayo Lues (Aceh); dan sebelah Barat dengan Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Gayo Lues. Jumlah penduduk Aceh Tamiang: 282.921 jiwa, penduduk terbanyak ada di Kecamatan Karang Baru (14,42%), diikuti Kecamatan Rantau (13,12%).
Potensi wisata di Kabupaten Aceh Tamiang tersebar di dua belas kecamatan, baik alam, budaya-sejarah maupun buatan sejumlah 76 objek dengan rincian 34 daya tarik alam, 28 daya tarik budaya/sejarah dan 14 daya tarik wisata buatan. Fasilitas pariwisata di Aceh Tamiang, yaitu 6
penginapan (123 kamar/194 tempat tidur), 13 BPW/APW, 57 unit rumah makan, 10 café, dan 6 toko souvenir. Aceh Tamiang memiliki letak strategis, yaitu perbatasan Aceh-Sumatera Utara persis berada di jalur timur Sumatera hanya berjarak ±135 km dari Kota Medan atau empat jam perjalanan darat. Jika dicapai dari Banda Aceh sejauh 475 km atau 10 jam perjalanan darat. Pembangunan pariwisata Kabupaten Aceh Tamiang dikembangkan dengan visi: terwujudnya Aceh Tamiang sebagai destinasi wisata syariah berbasis alam dan budaya Tamiang yang berdaya saing, berkelanjutan dan mensejahterakan masyarakat. Pembangunan kepariwisataan Aceh Tamiang dikembangkan berdasarkan tiga kekuatan utama, yaitu alam, budaya/situs sejarah dan buatan. Struktur perwilayahan pariwisata Aceh Tamiang, yaitu Destinasi Pariwisata Kabupaten (DPK); Kawasan Pengembangan Pariwisata Kabupaten (KPPK) dan Kawasan Strategis Pariwisata Kabupaten (KSPK).
Terdapat 4 DPK Aceh Tamiang, yaitu (1) DPK Seruway-Banda Mulia dan sekitarnya; (2) DPK Kota Kuala Simpang-Karang Baru dan sekitarnya; (3) DPK Tamiang Hulu dan sekitarnya; dan (4) DPK Tenggulun dan sekitarnya. Adapun KPPK Aceh Tamiang adalah (a) KPPK Seruway-Banda Mulia dan sekitarnya dengan tema: Ekowisata Pesisir (Pantai); (b) KPPK Kota Kuala Simpang-Karang Baru dan sekitarnya, dengan tema: City Tours, Rekreasi dan Belanja; (c) KPPK Tenggulun dan sekitarnya, dengan tema: Wisata Tirta Air Terjun dan Petualangan; dan (d) KPPK Tamiang Hulu dan sekitarnya, dengan tema: Petualangan Alam (Ekowisata). Sedangkan KSPK Aceh Tamiang dibagi menjadi 4, yaitu (1) KSP Pesisir; (2) KSP Kota Kuala Simpang-Karang Baru; (3) KSP Tamiang Hulu; dan KSP Tenggulun.
Dalam rangka akselerasi pembangunan kepariwisataan di Aceh Tamiang berikut rekomendasi : (a) pembangunan skala prioritas pada daya tarik wisata yang saat ini telah dikenal dan dikunjungi wisatawan, yaitu Kota Tua Kuala Simpang, Ekowisata Pantai Pusung Kapal (Tuntong Laut), Air Terjun Sangkapane, Permandian Kuala Paret, Pemandian Gunung Pandan, Air Terjun 7 Tingkat; (b) mendorong penetapan RIPPARDA menjadi peraturan daerah (qanun) agar memiliki kekuatan hukum yang mengingkat bagi semua stakeholder kepariwisataan di daerah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat Wilayah Kerja Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau Tahun 2018, melaksanakan Kajian yang terkait dengan pengembangan terutama dalam pemetaan sosial Kawasan Cagar Budaya Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. Kajian yang dilaksanakan di Kawasan Cagar Budaya Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang merupakan kerjasama antara BPCB Sumatera Barat dengan Pusat Studi Pariwisata (Puspar) Universitas Gadjah Mada. BPCB Sumatera Barat mendorong pengembangan dan pemanfaatan sumber daya budaya, termasuk yang berada di Pulau Penyengat. Nama besar pulau ini dengan keragaman tema yang melekat mampu menyihir calon wisatawan untuk bertandang ke Penyengat, Kepulauan Riau. Laporan yang disusun ini mengkaji upaya pengembangan program pemberdayaan yang diharapkan lebih operasional dan dibutuhkan selama di lapangan, khususnya di Pulau Penyengat.