Tak perlu dipungkiri bila Yogyakarta – di dalamnya mencakup 1 kota dan 4 kabupaten – masih menjadi pilihan bagi para pelancong, baik domestik ataupun mancanegara. Berbagai predikat disandang kota ini selain ditopang faktor penunjang lainnya sehingga menyebabkan siapapun mudah dapat melakukan mobilitas ke dan dari Yogyakarta. Berbagai aktivitas wisata dapat ditemukan dan hal itu ditunjang pula dengan aspek lainnya sehingga memikat wisatawan. Itu semua tidak lain Yogyakarta telah memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif disektor kepariwisataan. Harus diakui bila sektor kepariwisataan di Yogyakarta tidak dapat diabaikan eksistensinya, yang secara signifikan telah memberikan kontribusi bagi masyarakat baik secara ekonomi sosial dan budaya serta bagi pemerintah daerah dan kalangan swasta. Bukan itu saja, lokomotif ekonomi Yogyakarta juga masih ditopang dari sektor pendidikan yang dinilai masih memiliki kualitas baik serta didukung dengan keragaman jenis dan latar belakang lembaga pendidikan. Sehingga bisa dikatakan sekolah di Jogja masih menjadi pilihan bagi lulusan SMA luar DIY. Kreatifitas dan daya tanggap masyarakat Yogyakarta juga memberikan kontribusi bagi keberlangsungan ekonomi kreatif yang muncul baik dari kegiatan kesenian, disain grafis, kerajinan, dan kegiatan yang bernafaskan kreatifitas, termasuk merebaknya fenomena hobies yang bisa menjadi potensial market bagi pariwisata. Disisi lain, tingkat keterbukaan sosial yang relative tinggi dan akses masuk yang mudah ke DIY menjadikan wilayah DIY ini sering kali dipergunakan sebagai tempat untuk melakukan kegiatan bisnis/transaksi ataupun organisasi yang dirasa meresahkan masyarakat dan ini akan berdampak pada image buruk Yogyakarta.
Destinasi Berdaya Saing
Untuk menuju Jogja sebagai Destinasi yang Tangguh penting melihat perkembangan produk wisata yang tersedia serta secara jeli pula melihat perubahan minat pasar wisata. Ini artinya orientasi yang perlu dipikirkan adalah bagaimana menyiapkan segenap fasilitas wisata sesuai dengan market driven dan tetap memperhatikan konsep pembangunan berkelanjutan. Agar tidak tetuko, sing teka ora tuku-tuku, dan sing tuku ora teka-teka. Untuk itu, menurut hemat penulis, apapun bentuk dan hasil regulasi kepariwisataan bagi Yogyakarta yang diciptakan seyogyanya mampu mencermati perkembangan kepariwisataan. Termasuk berbagai peraturan daerah yang diterbitkan jangan sampai kontraproduktif dengan semangat pariwisata yang diembannya. Peranserta berbagai kalangan pelaku wisata (private sectors), penyedia jasa wisata (pedagang kaki lima, asongan, pemandu, BPW) dan masyarakat setempat pun sangat diharapkan berkontribusi secara positif agar tercipta kondisi yang Berhati Nyaman. Daya saing destinasi dipahami sebagai kemampuan sebuah destinasi untuk memenuhi kebutuhan pasar wisatawan lewat berbagai sumberdaya yang dimiliki. Tentu saja keberhasilan menjalankan visi Yogyakarta sebagai destinasi pariwisata yang prospektif patut didukung semua pihak untuk berkontribusi dan berprinsip bahwa pariwisata itu adalah investasi dan bordeless system. Untuk menuju Jogja sebagai destinasi yang berdaya saing Yogyakarta perlu kiranya kita intropeksi atas kondisi yang secara langsung ataupun tidak terkait dengan aspek destinasi yaitu : a). Transportasi,b). Atraksi,c). Akomodasi, d). Fasilitas Jasa lainnya,e). Institusi kelembagaan terkait, f). Infrastruktur pendukug, g). Pasar Wisatah, dan h). Masyarakat .
Dari hasil survai yang dilaksanakan Dinpar Kota Yogyakarta (2008) diperoleh informasi sebagai berikut : (1) Yogyakarta dikenal sebagai tempat wisata. Terbukti hampir semua wisatawan lebih 3 kali pernah datang ke Jogja. Persentase tertinggi adalah 1-4 kali berkunjung ke kota Jogja, (2) Motivasi berkunjung dari wisnus terbagai menjadi empat besar yaitu: berlibur (57%), MICE (18%), menjenguk saudara dan teman (13%) dan lainnya (12%). Sedangkan motivasi dari wisman terbagi menjadi empat besar pula, yaitu: berlibur (66%), MICE (20%), menjenguk saudara dan teman (7%) dan lainnya (7%), (3). Besaran Pengeluaran wisata/hari : wisnus < Rp. 500.000,-/hari, dengan nilai rata-rata pembelajaan untuk : makan minum (26%), akomodasi (14,29%), belanja (25,72%), Cinderamata (16,74%), & Transportasi (13,81%) Sedangkan pengeluaran wisman menghabiskan antara US$ 26-50 dan diatas US$ 100, dengan nilai rata-rata pembelanjaan untuk : makan-minum (19,49%), akomodasi (27,34%), transpotasi (12,99%), souvenir (10,36%), belanja (17,87%), dan pemandu wisata (4,16%), (4) Meski demikian, angka untuk LoS belum beranjak lebih di angka 3. Survai membuktikan 70% wisnus & 48% wisman berada di Jogja paling banyak 1-3 hari. (5) Penilaian ODTW oleh wisman secara berurutan meliputi : Budaya (51,4%), Kuliner (48,6%), Belanja (46,7%), Hiburan Malam (42,1%), & Buatan (34,6%). Sedangkan yang diminati wisnus : Budaya (62,2%), Kuliner (57%), Belanja (55%), Buatan (47,7%), & Hiburan Malam (31%), dan (6) Jogja masih mampu memberikan kenangan yang baik bagi wisatawan. Ini ditandai dengan tingginya minat unuk berkunjung kembali serta keinginan untuk merekomendasikan Yogyakarta sebagai destinasi wisata kepada orang lain.
Secara umum kepariwisataan di Yogyakarta akan semakin perfect & saleable bila secara optimal mendapat dukungan semua pihak. Sektor jasa ini sangat rentan dengan gejolak, baik yang terjadi di lingkungan internal atau lingkungan eksternal. Bagi Yogyakarta yang diberi karunia berupa keragaman sumberdaya pariwisata menjadi bagian penting yang harus selalu digarap dengan sentuhan dan improvisasi yang tinggi didukung dengan SDM yang kreatif dan mampu melihat selera pasar, tanpa harus kehilangan jati diri sebagai kota Budaya. Budaya berwisata pun perlu diciptakan selain mendorong masyarakat di sebuah destinasi untuk menjadi tuan rumah yang baik!. Tiga kata kunci penting lainnya yang tidak dapat dilupakan adalah “ Positioning”, “Differensiasi”, dan “Branding “ sebagai upaya yang harus dijalankan untuk menuju Yogyakarta sebagai Destinasi Berdaya Saing.
Penulis : Destha Titi Raharjana, staf peneliti Pusat Studi Pariwisata UGM