Minat wisatawan berkunjung ke Jogja semakin meningkat. Pada tahun 2007 jumlah wisatawan yang berkunjung ke Jogja sebanyak 2.203.830 orang (wisman 76.203 orang dan wisnus 2.127.627 orang), pada tahun 2011 meningkat menjadi 3.206.334 orang (wisman sebanyak 148.756 orang dan wisnus sebanyak 3.057.578 orang) (BPS DIY, 2012). Peningkatan sebanyak 45,5% ini menunjukan bahwa pesona Jogja bagi wisatawan masih tinggi. Hal ini juga sejalan dengan bertambahnya fasilitas wisata khusunya hotel yang bertambah 6 buah hotel bintang dan 680 hotel melati selama kurun waktu 2007-2011.
Namun, apa yang terjadi ketika wisatawan berbondong-bondong datang ke Jogja? Macet. Dikala liburan sekolah, long weekend, lebaran dan hari libur lainnya, berkendara di jalanan Jogja sangat tidak menyenangkan. Waktu tempuh pada hari biasa sekitar 30 menit, pada saat liburan meningkat menjadi dua kali lipat. Maklum, karena jalan dipenuhi bis wisata, motor, mobil sewa, dan mobil pribadi yang dipakai wisatawan untuk berkeliling. Sekali-dua kali kondisi ini tidak menjadi perbincangan, namun ketika selalu terulang, kondisi ini menjadi memuakan.
Jika dicermati, kemacetan di Jogja tidak hanya terjadi di seputaran daya tarik wisata unggulan, namun terjadi di seantero kota. Hal ini terjadi karena wisatawan nusantara yang datang ke Jogja lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi atau kendaraan sewa (bis dan mobil) selama berwisata. Pilihan ini membuat kendaraan yang tumpah ke jalanan Jogja melebihi daya dukung jalan, sehingga arus kendaraan tidak lancar. Pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana mengurangi jumlah kendaraan yang ada di jalanan Jogja? Sebelum menemukan jawaban yang tepat, timbullah pertanyaan lainnya yaitu: menggapa wisatawan memilih menggunakan kendaraan pribadi atau sewa padahal terdapat berbagai alat transportasi umum bertebaran di Jogja?
Trans Jogja, merupakan salah satu transportasi umum yang melayani rute mengelilingi Kota Joga, ditambah sedikit ke arah timur sampai dengan Prambanan. Jika dicermati, rute dan titik henti dari Trans Jogja sejalan dengan rute dan titik-titik daya tarik wisata di Jogja. Dengan demikian, sesungguhnya dari sisi rute dan stop point, Trans Jogja dapat dijadikan alat transportasi yang menghubungkan objek wisata satu ke objek wisata yang lain. Ditambah ongkos Trans Jogja sangat murah, tiga ribu rupiah sampai ketujuan, asal selama pergantian jalur tidak pindah halte. Meski demikian, Trans Jogja tidak serta merta diminati wisatawan. Kenapa? Karena dalam perspektif pariwisata, transportasi tidak semata menghubungkan satu daya tarik dengan daya tarik yang lain. Terdapat pertimbangan kenyamanan yang diinginkan wisatawan.
Akan kita cermati mengapa Trans Jogja kurang populer di kalangan wisatawan. Setidaknya ada tiga faktor disini, dua faktor pertama dari sisi alat transportasi dan pendukungnya, faktor ketiga adalah dari sisi wisatawan. Faktor pertama, armada terbatas, sehingga waktu tunggu antar bis dalam jalur yang sama maupun antar jalur relatif lama. Hal ini sangat terasa pada jalur-jalur favorit seperti prambanan-malioboro-terminal. Keterbatasan armada ini mungkin juga disebabkan karena tidak adanya jalur khusus bagi bis, sehingga jika armada bertambah bisa jadi menambah kemacetan di ruas-ruas tertentu. Dengan demikian solusi yang diambil tidak hanya menambah armada, namun perlu mempertimbangkan aspek-aspek pendukung lainnya. Kedua kondisi armada yang kurang terawat. Sayang sekali beberapa armada kurang nyaman digunakan apalagi untuk transportasi wisata. Contoh nyata adalah kursi-kursi yang rusak. Meski hanya satu atau dua kursi di sebuah armada, namun cukup mengganggu kenyamanan penumpang. Terlebih jika kerusakan terjadi pada rute-rute yang selalu dipenuhi penumpang. Jika masalah ini dapat diatasi, maka Trans Jogja akan lebih nyaman khususnyabagi wisatawan.
Faktor ketiga lebih kepada cara pandang wisatawan ketika bebergian menggunakan transportasi umum. Pada umumnya masyarakat kita ingin sesuatu yang “mudah”. Begitu keluar rumah, kalau bisa langsung bisa naik kendaraan sampai di depan pintu tempat tujuan. Hal ini bisa diperoleh ketika menggunakan kendaraan pribadi. Ibaratnya mau turun dan naik dimanapun tidak masalah, bertingkah bagaimanapun di dalam kendaraan tidak ada yang melarang. Ketika naik kendaraan umum, khususnya Trans Jogja, maka perilaku ini harus dirubah. Penumpang harus rela berjalan kaki menuju halte, menunggu datangnya bis, dan antri untuk naik bis dan berbagi dengan penumpang lain di dalam bis. Faktor ketiga ini lebih sulit diantisipasi dibanding dua faktor sebelumnya. Kesadaran masyarakat tentang “etika” dalam berkendaraan umum harus ditingkatkan. Edukasi dan sosialisasi merupakan cara yang dapat diambil agar kesadaran tersebut muncul.
Jika Trans Jogja dapat bersaing sebagai angkutan umum favorit wisatawan, diharapkan kendaraan pribadi atau sewa yang digunakan untuk berkeliling Jogja selama liburan berkurang karena penggunanya lebih memilih menggunakan Trans Jogja. Namun demikian, tidak serta merta kemacetan dapat hilang. Solusi alternatif ini harus dikombinasikan dengan solusi-solusi lainnya, sehingga macet kala liburan dapat dihindarkan dan Jogja tetap berhati nyaman dan istimewa di mata wisatawan.
Penulis : Esti Cemporaningsih, Staf Peneliti Pusat Studi Pariwisata UGM