Pusat Studi Pariwisata UGM bekerjasama dengan Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Gresik untuk melaksanakan pelatihan pengembangan pariwisata Pulau Bawean. Kegiatan pelatihan di laksanakan pada tanggal 26-28 Februari 2020 di Hotel Santika Gresik. Pembukaan pelatihan dihadiri oleh Drs. Hermanto TH. Sianturi selaku Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Gresik, hadir pada saat itu Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Gresik, Agustin Halomoan Sinaga, AP., M.Si. dan Ir. Ida Lailatussadiyah, M.M. selaku Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah.
Studi/Penelitian
Kegiatan ini merupakan kerjasama antara Shell Upstream Indonesia dengan Pusat Studi Pariwisata UGM, yang dilaksanakan di Kabupaten Tanimbar (dulu Kabupaten Maluku Tenggara Barat) provinsi Maluku. Pekembangan pariwisata yang sangat cepat berjalan ini menjadi tantangan bagi masyarakat dan pemerintah daerah Kabupaten Tanimbar didukung pula dengan rencana akan berjalannya mega proyek ekplorasi blok Masela. Dimana diperkirakan pembangunan proyek Blok Masela akan menyerap 30 ribu tenaga kerja langsung maupun pendukung. Tentu saja akan ada kebutuhan sarana akomodasi seperti penginapan, rumah makan dan lain lain, yang tidak kalah penting adalah kesiapan masyarakat dalam menerima kegiatan pariwisata. Untuk itu kerjasama ini dilakukan untuk memberikan pelatihan kepada pemerintah daerah dan masyarakat dalam menyikapi kebutuhan kebutuhan tersebut.
Ketua Tim : Prof. Ir. T. Yoyok Wahyu Subroto, M.Eng., Ph.D.
Koordinator Studio : Wijaya, S. Hut., M.Sc.
Salah satu daerah otonom di Aceh yang memiliki daya tarik pariwisata adalah Kabupaten Aceh Tamiang. Daya tarik wisata di Aceh Tamiang berupa alam pesisir, daratan, maupun pegunungan. Selain potensi alam, Aceh Tamiang memiliki potensi seni budaya dan situs-situs sejarah yang hingga kini masih terawat dengan baik.
Namun dalam perkembangannya hingga kini, sektor kepariwisataan di Aceh Tamiang belum optimal dikembangkan, salah satu sebabnya karena belum adanya dokumen (instrumen) perencanaan yang komprehensif sebagai landasan untuk mengatur pembangunan kepariwisataan dalam bentuk Ripparda. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan mengamanatkan setiap provinsi, kabupaten/kota harus memiliki Rencana Induk Pembangunan Pariwisata.
Ketua Tim: Drs. Hendrie Adji Kusworo, M.Sc. Ph.D.
Koordinator: Sotya Sasongko, S.Sos, M.Si.
Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penelitian Pengembangan Kabupaten Banggai Kepulauan dengan Puspar UGM tahun 2018. Tujuan penyusunan RIPPARKAB Banggai Kepulauan Tahun 2018 adalah: tersusunnya RIPPARKAB yang bertahap, terpadu dan berkelanjutan, serta berdaya saing yang sesuai dengan karakteristik fisik dan non fisik daerah, serta nilai-nilai budaya setempat sehingga menjadi pedoman perencanaan dalam Pembangunan Kepariwisataan.
Salah satu tujuan dari pengembangan pariwisata adalah meningkatnya pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut maka perlu percepatan pembangunanpariwisata melalui langkah-langkah strategis, dimana salah satunya adalah penyusunan rencana induk pembangunan kepariwisataan yang diamanatkan UU No. 10 tahun 2009. Langkah ini dilakukan oleh Temanggung dengan menyusun Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten.
Rencana induk ini berisi rumusan kebijakan pembangunan kepariwisataan Kabupaten Temanggung yang terdiri dari strategi dan program pembangunan destinasi pariwisata, pemasaran pariwisata, industri pariwisata, kelembagaan kepariwisataan dan rencana perwilayahan pariwisata. Program- program pembangunan yang telah dirumuskan akan dilakukan oleh organisasi perangkat daerah yang terkait didukung oleh masyarakat dan swasta. Dengan demikian, pariwisata Kabupaten Temanggung, yang terbagi dalam empat destinasi pariwisata kabupaten (DPK), empat kawasan pengembangan pariwisata (KPPK Kota Temanggung dan sekitarnya, KPPK Liyangan dan sekitarnya, KPPK Kandangan dan sekitarnya, KPPK Kembang Arum-Wagir Bawang dan sekitarnya) dan satu kawasan strategis pariwisata yaitu KSPK Kledung dan sekitarnya dapat berkembang dengan baik yang berdampak pada peningkatan pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
(Riset PDUPT, tahun 1 dari rencana 3 tahun)
Inovasi produk merupakan prasyarat untuk keberlanjutan destinasi pariwisata. Khususnya dalam upaya Inovasi pengembangan produk wisata budaya sumber daya manusia yang kreatif dan professional sekaligus memahami bahwa warisan budaya lokal tidak semata-mata hanya sebuah kebanggan namun perlu direvitalisai untuk meningkatkan manfaat ekonomi dan keberlanjutannya. Kawasan Danau Toba, Sumatera Utara, dikenal dengan produk wisata budaya yang menjadi salah satu daya tarik wisata andalan. Dalam lima tahun terakhir dihadapkan pada stagnasi pengembangan destinasi di satu sisi dan disisi lain pemerintah Indonesia berkampanye untuk mempercepat pencapaian target jumlah wisatawan internasional ke wilayah tersebut. Para pengelola atau pemilik warisan budaya telah berupaya melakukan inovasi produk yang meliputi tur desa etnis, pertunjukan budaya, etnis seni dan kerajinan, dan museum etnik, serta proses praktik inovasi yang meliputi penyederhanaan pengemasan tradisi lisan, legenda, untuk menarik wisatawan. Temuan yang diperoleh membeberkan fakta bahwa dua praktik inovasi ini tidak berhasil. Salah satu penyebab utama adalah kurangnya pengetahuan inovasi dari beberapa pengelola, khususnya pewaris tunggal atraksi budaya. Mereka melihat inovasi sebagai ancaman bagi status quo penerus warisan lokal. Sementara itu, kehadiran para profesional, meskipun hanya dalam kasus terbatas dan dengan tantangan yang sulit, terbukti mampu membawa inovasi produk wisata budaya menjadi lebih menguntungkan secara ekonomi dan sedukit banyak memberi kontribusi pada keberlanjutan budaya lokal tersebut.
(Riset PTUPT, tahun 2 dari rencana 3 tahun)
Riset ini merupakan upaya untuk menjawab permasalahan yang ditemukan di Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan yang sebagian wilayahnya masuk dalam Kawasan Strategis Nasional Candi Prambanan serta terdapat Geotapak Endapan Vulkanik Purba Candi Ijo di Bukit Ijo. Permasalahan terkait fungsinya sebagai kawasan yang dilindungi serta penyangga zona I-III KSN Candi Prambanan muncul ketika penambangan batu breksi tidak terkendali sampai merubah topografi dan lansekap. Penambangan ini tidak serta merta dihentikan karena kegiatan ini merupakan penopang hidup sebagian besar masyarakat Sambirejo. Dengan demikian, diperlukan pengembangan aktivitas lain yang dapat menjadi sumber ekonomi utama masyarakat Sambirejo sebagai pengganti aktivitas pertambangan.
Pariwisata dipandang sebagai sebuah aktivitas yang sesuai karena desa ini mempunyai potensi arkeologi, potensi geologi, serta potensi lansekap. Pengembangan potensi-potensi tersebut menjadi sebuah destinasi wisata membutuhkan dukungan dari berbagai aspek. Dukungan tersebut diantaranya adalah fasilitas dan infrastruktur yang sesuai dan memadai. Dari kegiatan riset yang telah dilakukan selama dua tahun terdapat beberapa penemuan. Pertama, karakteristik daya tarik wisata yang ada di Sambirejo adalah daya tarik budaya dan daya tarik alam. Dari 14 lokasi potensial, 7 diantaranya mulai dikembangkan. Dua buah diantaranya sudah berkembang, yaitu Candi Ijo dan Tebing Breksi. Kecuali di
Tebing Breksi, fasilitas dan infrastruktur masih minim. Sebagian besar fasilitas yang tersedia adalah fasilitas dasar seperti parkir, tempat duduk dan toilet. Fasilitas ini dikelola oleh masyarakat sekitar atau para pemilik lahan. Kedua, penambangan batuan breksi masih berlangsung hingga saat ini. Penambangan ini sulit dikendalikan karena hampir semua lokasi tambang adalah milik masyarakat. Bahkan pada lokasi wisata Tebing Breksi pun, penambangan masih dilakukan, meski lokasi dan kuantitasnya dibatasi dan disesuaikan dengan masterplan kawasan. Ketiga, wisatawan yang datang ke Tebing. Didominasi oleh wisatawan muda, dari Yogyakarta dan sekitarnya, dan baru pertama kali dating ke Tebing Breksi. Informasi tentang tebing Breksi diperoleh dari sosial media dan mereka biasa menyebar foto atau narasi cerita lokasi wisata yang mereka datangi, dan menyukai jika informasi yang disebar menjadi viral. Keempat, aktivitas pariwisata membawa manfaat positif bagi masyarakat antara lain dengan meningkatnya peluang kerja, munculnya industri baru, infrastruktur desa yang membaik, terjalinya hubungan erat dan positif antar warga, dan adanya dukungan dana dalam menyelenggarakan kegiatan sosial.
Riset Kolaborasi Indonesia
(Sub hasil riset: KEPUASAN WISATAWAN DI SITUS WARISAN BUDAYA DUNIA CANDI BOROBUDUR, INDONESIA)
Tujuan dari riset ini adalah : 1) menilai jumlah elemen kepuasan yang didapatkan wisatawan selama mereka mengunjungi Candi Borobudur; 2) mengetahui apakah dengan kepuasan yang mereka dapatkan membuat pengunjung memiliki niat untuk mengunjungi kembali Candi Borobudur; dan 3) menentukan kontribusi variabel-variabel yang membentuk kepuasan wisatawan di kawasan ini. Penelitian ini dilakukan dengan survey wisatawan sebanyak 270 responden yang dipilih secara kebetulan (accidental sample). Pengambilan sampel dilaksanakan pada bulan Mei – Juni 2018. Responden adalah wisatawan nusantara dan mancanegara yang berusia diatas 17 tahun yang telah selesai melihat candi. Data dianalisis menggunakan structural equation models (SEM), metode analisis yang digunakan adalah Partial Least Square (PLS) yang menggunakan perangkat lunak SmartPLS.
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1) Model yang dihasilkan belum sepenuhnya valid karena pengaruh biaya dan resiko tidak berpengaruh pada kepuasan wisatawan; 2) Oleh karena itu pengelola destinasi harus lebih fokus kepada peningkatan kualitas layanan, nilai pariwisata, citra/kesan, dan manajemen pengunjung; 3) Komponen yang berpengaruh paling besar terhadap kepuasan wisatawan adalah kualitas pelayanan wisata di destinasi; dan 4) Kualitas layanan juga mempengaruhi nilai yang dirasakan wisatawan. Hal ini dapat diartikan bahwa ada kecenderungan selama mendapatkan layanan berkualitas tinggi, wisatawan bersedia untuk meningkatkan pengeluaran di destinasi (Wu dan Li, 2017).
Upaya mengurangi resiko bencana perlu menjadi arus utama dalam setiap pembangunan, termasuk di sektor kepariwisataan. Di banyak tempat, industri pariwisata rentan dengan bencana, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Di pihak lain, sektor pariwisata memicu terjadinya bencana ataupun dipihak lain ia dapat menjadi yang terdampak. Kawasan Dieng Plateau merupakan destinasi unggulan Provinsi Jawa Tengah yang mampu mendulang wisatawan. Namun disisi lain, dibalik pesonanya yang indah, destinasi ini menyimpan ancaman. Sebagai bekas kaldera, kondisi geologi dan bentangalam, destinasi Dieng Plateau memiliki eksotisme. Dilengkapi kompleks candi Hindu yang berdiri megah dan tersebar pada beberapa titik menjadikan pesona kawasan wisata Dieng ini semakin lengkap.
Masyarakat Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah tinggal di kawasan rentan bencana. Mereka memiliki pengetahuan tentang ancaman bencana yang mungkin terjadi. Mereka juga tidak lupa akan rentetan kejadian bencana di sekitar mereka
tinggal pada kurun waktu tertentu. Di sisi lain, alam sekitar di desa memberikan manfaat ekonomi, salah satunya dari sektor pariwisata. Oleh sebab itu, penting sekali diberikan penguatan pengurangan resiko bencana (PRB) sebagai salah satu strategi agar dapat dijalankan di wilayah pariwisata tersebut. Melalui Education for Sustainabe Deveopment (ESD), Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Dieng Pandawa, desa Dieng Kulon diperkuat perannya supaya mampu menjadi salah satu unsur penting dalam upaya pengurangan resiko bencana, khususnya untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam proses penyelamatan wisatawan.
Adanya bencana yang berada pada lokasi pariwisata menjadikan industri pariwisata sangat rapuh (vulnerable), tetapi di pihak lain secara bersamaan destinasi atau industri ini menjadi tangguh (resilient). Program pengurangan resiko bencana dan penguatan kapasitas Pokdarwis
menjadi strategis untuk dijalankan dan diarahkan dalam hal ini untuk menyusun perencanaan mitigasi bencana.
Pemerintah melalui Nawacita ke-3 mendorong pembangunan Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa-desa dalam kerangka NKRI. Amanat UU No.6/2014 tentang Desa menyebutkan bahwa pembangunan kawasan perdesaan sebagai salah satu pendekatan dalam menyelesaikan permasalahan desa. Langkah awal dalam pembangunan kawasan perdesaan adalah dimulai dengan menyusun RPKP dengan lokus KPPN Pulau Kapota.
Tujuan penyusunan RPKP ini merumuskan kebijakan pengembangan kawasan perdesaan strategis yang terpadu antar sektor, antar wilayah, dan antar tingkat pemerintahan berdasarkan kebutuhan jangka menengah (5 tahun) dan jangka pendek (1 tahun) guna meningkatkan fungsi kawasan perdesaan yang mandiri, maju, berdaya saing dan berkelanjutan. Penelitian dilakukan secara kualitatif, dengan survey lapangan, wawancara mendalam dan focus group discussion sebagai teknik pengumpulan data. Hasil kajian mengungkap bahwa Kawasan Pulau Kapota memiliki potensi sumberdaya alam seperti pariwisata (alam dan budaya/sejarah), potensi perikanan tangkap, pertanian dan kerajinan. Pariwisata dipilih sebagai komoditas/potensi unggulan di Pulau Kapota didukung oleh perikanan tangkap, kelapa, bambu dan tenun. Permasalahan yang menonjol di kawasan perdesaan Pulau Kapota adalah (a) persoalan air bersih yang belum memenuhi kebutuhan semua warga Pulau Kapota; (b) minim fasilitas pariwisata (rumah makan, persewaan alat-alat wisata dan homestay standar); (c) kemampuan SDM pengelolaan pariwisata di kawasan masih rendah; (d) minim sarana dan prasarana perikanan tangkap (kapal, penampung ikan hasil tangkapan); (e) inovasi hasil kerajinan anyaman bambu dan tenun masih rendah; dan (f) persoalan kemiskinan yang masih melanda sebagian besar masyarakat Pulau Kapota, yaitu 43% kategori miskin.
Visi pembangunan kawasan perdesaan Pulau Kapota adalah terwujudnya kawasan perdesaan yang mandiri, berkelanjutan dan sejahtera 2018-2022, dengan tema pengembangan pariwisata (alam dan budaya) didukung oleh perikanan tangkap, bambu, tenun dan kelapa. Adapun sasaran
pembangunan kawasan perdesaan Pulau Kapota adalah pengembangan produk/komoditas unggulan pariwisata dengan dukungan sektor lainnya. Adapun strategi dan kebijakan pembangunan Kawasan Perdesaan Pulau Kapota diarahkan pada : (a) Pengembangan kawasan-kawasan pariwisata unggulan, potensial dan pendukung dengan konsep ekowisata yang berwawasan lingkungan; (b) peningkatan hasil tangkapan nelayan dengan dukungan sarana dan prasarana perikanan, pengolahan dan jejaring pemasaran yang kuat (hulu-hilir).; (c) peningkatan hasil pertanian dengan dukungan sarana dan prasarana pertanian; (d) peningkatan usaha kerajinan anyaman bambu, tenunan dan kuliner dengan
dukungan bahan baku, pengolahan dan pemasaran; dan (e) peningkatan sarana dan prasarana/infrastuktur kawasan perdesaan. Terkait dengan pariwisata sebagai produk unggulan kawasan pedesaan atau biasa disebut Prukades dikembangkan dengan konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan (suistainable tourism development) yang mampu mengintegrasikan tiga dimensi, yaitu dimensi ekonomi, lingkungan (kelestarian/konservasi) dan dimensi sosial budaya.
Rekomendasi kajian ini : pertama, diperlukan percepatan pembangunan lintas sektor, koordinasi dan sinergi antar lini dalam pembangunan Kawasan Perdesaan Pulau Kapota dengan prioritas meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kedua, faktanya sebagian besar penduduk Kapota masih tergolong miskin (pra sejahtera), maka diperlukan program-program padat karya dan bantuan modal usaha disamping program dan kegiatan peningkatan infrastruktur, pengembangan kapasitas masyarakat dan menumbuhkan kemandirian, kreativitas dan inovatif. Ketiga, diperlukan komitmen dan kerja konkrit dari semua lembaga baik pusat, provinsi dan daerah (kabupaten) untuk membangun Kawasan
Perdesaan Prioritas Nasional (KPPN) Pulau Kapota, termasuk dukungan swasta dan pelaku usaha sangat diperlukan dalam membangun kawasan perdesaan Pulau Kapota. Keempat, pola-pola kemitraan dalam pembangunan kawasan perdesaan Pulau Kapota dapat dikembangkan, seperti kerjasama keterkaitan antar hulu – hilir; keterkaitan antar hilir dan hulu, kerjasama dengan pemilik usaha (resort, hotel, bank swasta/nasional) dan kerjasama dalam bentuk bapak-anak angkat). Kelima, dokumen RPKP ini adalah milik daerah, sehingga dibutuhkan komitmen bagi semua pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah untuk mengawal, melaksanakan (implementasi), mengevaluasi dam memonitoring sejauh mana pelaksanaan program-program yang telah diusulkan dalam matriks program.